Fri, 19 April 2024

Sebuah Gelang dan Suatu Sore yang Dingin

Reporter: Ammar Taufiq/Kontributor | Redaktur: | Dibaca 122 kali

Tue, 5 May 2020
Ilustrasi: https://images3.alphacoders.com/

Malam itu Rey hanya bisa berteriak dalam keheningan. Sembari mengendarai motor yang baru saja dibelikan oleh kedua orangtuanya. Rey sesekali menatap ke kaca spion motornya dan melihat mukanya sendiri sambil terus berpikir, betapa bodohnya aku. Sambil melaju bersama motornya untuk pulang.

***

Pagi itu tampak biasa saja. Tidak ada yang spesial. Yang membedakannya hanyalah hari ini adalah hari pertamanya berangkat ke kampus. Ia sebenarnya tidak menginginkan untuk melanjutkan kuliah. Tetapi kedua orangtuanya memaksa agar Rey bisa mendapatkan pekerjaan yang layak selepas lulus kuliah. Rey mengalah.

Ia mendaftarkan diri ke kampus dengan terpaksa. Ia memilih kampus yang terdekat dari rumahnya. Tidak ada alasan lain selain itu. Meskipun orangtuanya menginginkan ia untuk daftar ke Universitas Negeri, tapi mendengar kabar bahwa Rey sudah mendaftarkan dirinya untuk kuliah saja, itu hal sudah sangat disyukuri oleh mereka.

Rey memang tidak pernah mementingkan pendidikannya. Kedua orangtuanya selalu memaksa semua anaknya untuk bisa sekolah setinggi-tingginya dengan tujuan agar bisa kerja dengan tinggi juga. Soal itu Rey selalu bertentangan dengan kedua orangtuanya. Karena Rey, sejak duduk di bangku kelas 9 sudah memiliki penghasilan sendiri dengan menjadi freelance designer grafis.

Ia melewati hari pertamanya berkuliah. Membosankan, pikirnya. Ia duduk di koridor fakultasnya. Saat itulah telepon genggamnya tetiba berbunyi. Rey menengok. Ternyata itu dari temannya, Fendi, yang juga kuliah di kampus yang sama. Hanya saja Fendi memilih jurusan yang berbeda dengan Rey.

“Ketemuan di kantin yuk, bro?”

Rey tidak langsung merespon. Karena sebetulnya ia telah berencana untuk mengerjakan beberapa project desain yang ia dapatkan. Tetapi ia setelah berpikir hal itu bisa ia tunda, lagi pula hari ini ia perlu untuk mengenal lingkungan kampus. “Ayo, kantin mana nih?” Jawabnya. Selagi Fendi berpikir mengenai kantin mana yang hendak mereka kunjungi kali pertama, Rey menambahkan, “Kantin fakultas gua aja, ya”

Mereka bertemu, Fendi memesan makanan favoritnya, mie ayam. Rey memesan es teh manis saja.

“Gimana? Udah menemukan serunya kuliah?” Fendi bertanya. Rey menggelengkan kepalanya.

“Nggak ada seru-serunya.” Jawab Rey. Memang di hari pertama Rey tidak terlihat seperti mahasiswa baru lainnya yang terlihat sangat antusias di hari pertama.

“Kayaknya lu perlu penyemangat deh, biar lu betah kuliah. Hahaha.” Fendi menimpali dengan bercanda.

Rey meresponnya hanya dengan senyum kecil. Ia berpikir memang sejak SMP, ia selalu memiliki kekasih yang kerap menyemangatinya untuk tetap bersekolah. Ia tidak benar-benar cinta pada kekasihnya pada saat itu. Tetapi kekasihnya menjadi semacam tim penyemangat dirinya ketika ia sudah benar-benar malas pergi ke sekolah. Terakhir Rey menjalani hubungan adalah dengan Mei. Itu semasa SMA, berakhir tragis pula karena Rey kerap kali terlalu fokus dengan kerjaannya. Padahal, Mei adalah perempuan yang sangat ia cintai. Tidak dengan perempuan-perempuan sebelumnya.

“Lu mau nggak gua kenalin sama teman kelas gua? Jangan salah, jurusan gua terkenal dengan cewenya yang cakep-cakep, lho,” Fendi bertanya.

“Nggak deh bro, lagian juga dari yang udah-udah gua nggak pernah beres kalau soal hubungan. Ya, lu tau sendiri kan.” Jawab Rey. Walaupun ia menyadari belakangan ini ia kerap dihantui kesendirian yang parah. Ia kerap menyerahkan project desain melebihi deadline yang ditentukan, bahkan lebih parahnya ia pernah hampir tidak dibayar untuk project itu kalau saja ia tidak merengek meminta maaf pada client-nya.

“Ayolah, kali ini cobalah serius cari pasangan.” Fendi terus mencoba. Ia khawatir semangat Rey sebagai manusia hilang. Akhirnya Rey mengiyakan soal itu.

***

Hari itu Rey pergi ke lokasi untuk berkenalan dengan seorang perempuan yang dikenalkan Fendi. Ia sampai dengan motornya di depan kafe The Elsmo. Ia memerhatikan bangunannya, seperti tidak asing.

“Gimana? Udah ketemu sama cewek itu?” Fendi menelfon. Rey tidak langsung menjawab. Ia masih berada di atas motor, sembari melamun. “Belum, Fen.” Sebelum Fendi kembali bertanya, Rey meneruskan. “Aku ingat tempat ini Fen, ini tempat kali per.. kal.. aku bers…ma…Mei” Sinyal di sana tidak bagus, dan saluran tiba-tiba terputus.

Ia masih ingat betul ornamen di kafe ini. Dinding coklat yang dipenuhi ornamen-ornamen kekinian, juga dihiasi dengan lukisan-lukisan. Sebagian kanvas yang berisi tulisan-tulisan dalam bahasa inggris. Ia masih sangat ingat ketika pertama kali ke sini bersama Mei. Dan ia juga masih mengingat lekat-lekat bagaimana mantan kekasihnya itu mengakhiri hubungan mereka dengan alasan yang tidak logis dan basi: Mei ingin fokus kuliah. Padahal itu hanya alibi saja karena Rey memang cuek dan lebih mementingkan pekerjaannya.

“Rey, ya?” tanya seorang perempuan itu. “Aku Nay.” Mereka saling berjabat tangan.

Rey masih agak terdiam. Ia mencoba memikirkan jawaban yang paling berkesan untuk perkenalan kali pertama. Tetapi pikiran itu masih terus dicampuri oleh kenangan-kenangan masa lampau yang semestinya tidak perlu ia datang kembali. Ia memang kerap kali tidak bisa berdamai dengan masa lalu. Walaupun bukan sesuatu yang mudah, tetapi Rey memang kerap kali gagal dalam mengasosiasikan kenangan buruknya dengan realitas saat ini. Padahal kini, tepat dihadapannya ada seorang gadis. Semoga perempuan ini bisa menghapus ingatan lamanya secara perlahan, pikir Rey.

“Hai, iya. Udah lama di sini?” Akhirnya mereka bercakap-cakap pada saat itu. Mereka melebur dalam suasana hangat. Rey sudah bisa fokus. Tidak memikirkan lagi akan tempat itu. Mereka membicarakan banyak hal mulai dari hobi, kesan pertama mereka memasuki dunia kampus, sampai hal-hal remeh semacam mana yang lebih enak memakan bubur diaduk atau tidak. Semua mereka bincangkan. Rey mulai merasa nyaman dengan Nay.

Setelah kurang lebih satu jam bercakap-cakap, mereka memutuskan untuk mengelilingi kota dengan jalan menyusuri trotoar. Menikmati keadaan kota yang padat merayap apalagi kini, hari sudah mulai sore dan matahari sudah mulai agak kemerahan. Hal itu menambah suasana hangat bagi pemuda dan pemudi ini. Tentunya ini akan menjadi momen indah pertama yang mereka jalani.

Di sekelilingnya, mereka bisa menikmati pula bangunan-bangunan tua dan tenggelam dalam suasana bersejarah. Mereka duduk di bangku trotoar tepat di depan gedung Asia-Afrika. Dan sesekali mereka saling bertatapan satu sama lain. Dan Rey terkadang hanyut dalam tatapan itu.

“Jajan es krim yuk,” Seru Rey. Ia sangat menyukai es krim. Dahulu, ia kerap kali menyempatkan waktu di setiap harinya untuk pergi bersama Mei untuk membeli es krim.

Rey membeli rasa vanilla dan Nay memilih rasa cokelat. Total pembayaran adalah 13 ribu. 6 ribu untuk harga es krim vanilla dan sisanya harga es krim cokelat. Rey mengambil uang dari saku kiri jeansnya dengan terburu-buru karena antrian yang sudah memanjang di belakang mereka. Satu gelang jatuh dari saku Rey bersamaan dengan uang yang ia keluarkan. Nay mengambilkan gelang itu. Ia sempat membaca gelang itu yang bertuliskan dari Mei untuk Rey dengan lambang hati tepat di akhir tulisan itu. Ia selalu membawanya kemana-mana. Itu seperti gelang keberuntungan bagi Rey. Dan Rey berpikir gelang itu akan membawa keberuntungan baginya dalam persoalan hubungan juga.

Rey menyerahkan uang pas dan mengambil kedua es krim. Rasa vanilla dan cokelat. Mereka kembali duduk di bangku. Rasa cokelat ia berikan ke Nay, dan Nay memberikan gelang itu. “Ini, tadi jatuh dari saku celanamu.” Rey terperangah. Kemudian Nay kembali berucap, “Manusia yang paling baik adalah manusia yang bisa belajar dari sejarah, terutama yang penuh luka. Tetapi banyak orang gagal melakukan itu. Hahaha.” Sambil menyerahkan gelang, Nay tertawa. Hari itu, langit mulai gelap. Matahari sudah tenggelam. Dan Rey mulai merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang walaupun ia sedikit tertawa.

 

Penulis merupakan mahasiswa semester 4 Sosiologi UIN Bandung

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments