Thu, 10 October 2024

Duka di Balik Pesona Kota Mati Waduk Jatigede

Reporter: Ratih Pratiwi | Redaktur: Reta Amaliyah Shafitri | Dibaca 383 kali

Sun, 14 October 2018
Sejumlah sampan bertengger di tepi genangan air Waduk Jatigede, Sabtu (13/10/2018), yang surut drastis akibat musim kemarau. Selain faktor musim, turunnya debit air ini disebabkan tidak seimbangnya antara pasokan air yang masuk dengan pengairan yang dilakukan ke beberapa daerah sebagai antisipasi apabila terjadi kekeringan. (Ratih Pratiwi/Jurnalposmedia)

JURNALPOSMEDIA.COM–Kemarau menyebabkan debit air Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat terus berkurang hingga surut, terhitung sejak Juli dan puncak kekeringan terjadi pada pertengahan Agustus. Alhasil, fenomena tersebut memperlihatkan kembali puing-puing sisa bangunan yang semula dibenamkan.

Surutnya Waduk Jatigede tentu menjadi perhatian publik karena menyuguhkan pemandangan yang terlihat seperti kota mati dengan keadaan gersang dan berdebu. Bahkan, terdapat sisa reruntuhan bangunan yang persis seperti wilayah bekas perang. Seolah disulap menjadi kolam pada umumnya, waduk terbesar kedua di Indonesia ini hanya menyisakan sedikit bagian yang masih berair. Hal itu dikarenakan tidak seimbangnya pasokan air dari Sungai Cimanuk dengan pengairan yang dilakukan ke daerah-daerah seperti Majalengka dan Kadipaten sebagai upaya antisipasi kekeringan.

Peristiwa tersebut tentu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Ada yang datang dari luar kota untuk menjadikannya objek fotografi, swafoto atau sekadar rekreasi. Salah seorang pengunjung, Devi Okta menilai surutnya air waduk membawa beragam dampak bagi masyarakat. “Karena air Jatigede surut, cuaca menjadi panas. Saya lihat banyak ikan yang mati karena kekeringan, namun banyak pula warga sekitar yang menjadikan ini kesempatan untuk berwisata dan tempat mencari rezeki dengan cara berjualan aneka minuman atau makanan ringan,” ujar Devi.

Namun, di balik senyum ceria pengunjung, masih ada masyarakat yang seolah dibawa nostalgia dengan melihat luka lama. Salah seorang masyarakat terdampak surutnya Waduk Jatigede, Ade Darmawan, merasa berat hati ketika melihat bekas kampung halamannya menjadi tontonan publik. Masyarakat yang semula mata pencahariannya berpusat pada bidang pertanian dan perkebunan, sebagian mesti beralih ke perikanan. Tetapi, masyarakat masih harus gigit jari karena dampak musim kemarau ini.

“Sejak dibendungnya Jatigede, otomatis kita dimiskinkan, kehilangan mata pencaharian total. Bahkan, dulu beberapa bulan setelah relokasi, banyak masyarakat yang berjatuhan sakit bahkan depresi karena beban pikiran dan tanah yang semula subur ini harus hilang,” keluh Ade saat ditemui Jurnalposmedia,Sabtu (13/10/2018).

Rencana pembangunan Waduk Jatigede sudah digembor-gemborkan sejak pemerintahan Soekarno. Sebelum akhirnya diteruskan hingga rampung pada 2015 dan beroperasi penuh pada 2017 lalu, warga sempat tiga kali menolaknya. Sebab, Sumedang, khususnya daerah terendam banyak menyimpan situs-situs bersejarah yang seharusnya dijaga.

Di samping itu, mereka berusaha berpikir luas dan lapang dada, “Mungkin pemerintah berpikiran lain demi berkembangnya pembangunan,” ujar Ade. Melihat animo masyarakat yang membuncah, Ade tidak mempermasalahkan hal tersebut karena memang sebagai objek hiburan bagi masyarakat luar dan mencoba mengambil hikmahnya karena sebagian orang masih bisa berdagang kecil-kecilan di tempat tersebut.

 

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments