JURNALPOSMEDIA.COM – “Riau tanpa asap” begitulah slogan-slogan yang selalu di elu-elukan para kepala daerah di provinsi Riau. Asap Riau pada tahun ini bukanlah kejadian pertama atau kedua kalinya, tetapi memang permasalahan yang sudah lama terjadi. Adanya kekurangan dalam mendapat perhatian tegas dari para pemimpin negara.
Bencana asap Riau bukan terjadi kali ini saja, melainkan kejadian yang selalu terulang setiap tahunnya. Kilas balik, pada tahun 2014 hutan di wilayah provinsi Riau juga terbakar di 134 titik di sepanjang wilayah. Akibatnya, setidaknya 5.000 hektar lahan dan hutan terbakar habis dilahap sang jago merah.
Data 1 Januari – 9 September 2019 menunjukan bahwa Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Riau seluas 6.500 hektar. Menjadikannya kebakaran paling parah dalam sejarah tragedi Karhutla di Sumatra.
Tragedi kabut asap Riau menyebabkan sekolah-sekolah diliburkan bahkan hingga ada himbauan kepada orang tua agar tidak membiarkan anak-anaknya keluar rumah. Diberitakan Kompas.com, Kamis (12/9/2019) kepulan kabut asap yang pekat di Riau, membuat jarak pandang hanyalah 800 meter.
Diberitakan setidaknya 600.000 orang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang disebabkan oleh kabut asap Riau.
Dikutip dari Liputan6.com, Selasa (17/9/2019) Presiden Joko widodo menegaskan bahwa Gubernur mempunya peralatan lengkap, mulai dari Bupati dan Walikota hingga BPNB dan segala perangkat kehutanan untuk mencegah Karhutla Riau.
Di samping itu, Jokowi menyebut sudah memerintah Panglima TNI Hadi Tjahjanto dan Kepala BNPB Letjen Doni Monardo untuk membuat hujan buatan. Perintah ini masih berlangsung hingga kabut asap tuntas.
Terlepas dari upaya pemerintah untuk memadamkan Karhutla Riau. Seharusnya pemerintah sudah bisa memprediksi dan mencegah peristiwa asap Riau, terlebih lagi peristiwa ini bukan pertama kalinya terjadi melainkan peristiwa yang terus terulang setiap tahunnya.