RESENSI BUKU
JUDUL : HUMANISME DAN SESUDAHNYA
PENULIS : F. BUDI HARDIMAN
PENERBIT : KPG
TAHUN : 2012
ISBN : 978-979-91-0459-5
“Sudah berapa banyak darah manusia yang tumpah akibat peperangan antarsesamanya di muka bumi ini?” jawabannya, sebanyak itulah ‘kekonyolan’ laku manusia yang telah disorot oleh dirinya sendiri, kemudian menjelma dalam bentuk lembaran sejarah yang tebal dan berwarna warni. Cerita manusia tak akan ada habisnya ‘tentang hidupnya’ – siratan yang dikutip dari roman ‘Bumi Manusia’ – kiranya perlu dipikir ulang untuk membantah kebenarannya. Sejak Adam diturunkan ke bumi, bahkan hingga detik ini, setidaknya sejak tulisan ini digubah bahkan saat dibaca setelah jadinya, manusia masih melangsungkan ceritanya. Bisa jadi saat saya menulis ini, di luar sana sedang terjadi pertempuran yang menumpahkan banyak darah tak berdosa, atau barangkali saat tulisan ini sedang dibaca dan dicermati Anda, ada saudara kita yang mati kelaparan karena ditinggal belas kasih saudaranya (mereka dan kita).
Itulah keniscayaan yang tak pelak lagi untuk kita terima, selain bangunan peradaban yang membanggakan sebagaimana yang sedang kita nikmati dewasa ini, tetapi tak luput juga dari kebiadaban yang memalukan sebagaimana kabarnya yang mengisi halaman depan surat kabar. Dengan ini saya menganggap Anda sepakat untuk memaklumi keberadaan si Joker di samping kehadiran Batman, menganggap wajar pada warga Amerika yang menyambut pelantikan Donald Trump dengan sungging senyum semringah, di sisi lain ada yang menyambutnya dengan orasi nada oposisi, atau kita sepakat akan keberadaan pro dan kontra pada ciutan SBY yang sedang mengeluh pada keadaan negeri yang jadi ‘begini’.
Dalam hal ini, saya pribadi sempat bingung sebetulnya terhadap kenyataan yang banyak bicara berbagai perseteruan antarmanusia. Kemudian ditambah geli oleh keberadaan kubu Humanisme di dunia ini. Bagaimana tidak, manusia kok mengurus manusia lain agar bermartabat sebagaimana manusia yang terkonsep dalam dunia idenya. Tapi tunggu dulu, ungkapan saya yang demikian sama sekali bukan sebagai nada tak mendukung pada gerakan humanisme. Hanya saja, ada rasa aneh dalam diri, yang berisi bisikan tentang keberadaan aktivis humanisme itu, mengesankan bahwa manusia yang sering kita lihat di hamparan bumi ini tidak semuanya sudah jadi manusia, sehingga yang saya simpulkan pada kehadiran humanisme adalah tak lain sebagai ‘alarm’ bagi manusia lain yang belum masuk kategori ‘manusia’, atau bagai dokter untuk mereka yang terjangkit penyakit lupa pada sifat kemanusiaannya.
Buku Humanisme dan Sesudahnya (meninjau ulang gagasan besar tentang manusia) ini merupakan suguhan untuk Anda yang ingin tahu humanisme. Tidak hanya untuk diajak tahu, tapi mengajak kita meninjau ulang arti humanisme lewat perjalanannya yang berliku. Buku ini bukan hanya berisi tips untuk menjadi seorang humanis lewat beberapa pesan tersiratnya, bahkan lebih dalam dari itu, karena di dalamnya berbicara soal gerakan humanisme dalam lembaran sejarah yang dikemas ramping dan dibuat seksi. Disebut ramping karena suguhan sejarahnya sangat padat, seksi sebab menampilkan catatan kritik menurut sejarah sebagai bahan refleksi pembaca.
Pertama-tama, F. Budi Hardiman ini menilik pengertian humanisme secara normatif, yang mengangkat nilai-nilai kodrati manusia di tengah-tengah suatu zaman yang penuh obsesi pada agama. Pada abad klasik Yunani yang sudah menerapkan sistem pendidikan paidea, yang mengolah bakat-bakat manusia. Sedangkan di Romawi ada gagasan manusia sebagai animal rationale, keduanya adalah peletak batu pertama bagi paham humanisme universal (hal. 7). Penulis tak hanya meletakkan data ‘sejarah mentah’ sebagai penunjang olahan argumentasinya, tapi ia juga mencoba menyentuh sejarah dengan konteks ruang dan waktu yang berlaku. Dengan demikian, tak berlebihan kiranya bila saya menganggap bahwa penulis telah berhasil menyodorkan data sejarah tanpa berceceran (walau tak lepas dari reduksi).
Kemanusiaan dan Agama
Abad Pertengahan merupakan masa pertempuran antara dogma agama dengan manusia Eropa yang akan beranjak pada satu masa yang disebut ‘modern’. Humanisme modern mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran oleh persekutuan horor antara negara dan agama, hal ini terjadi seiring perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Humanisme muncul sebagai gerakan menghargai manusia dan kemanusiaannya dengan memberikan penafsiran-penafsiran rasional. Sehingga kebudayaan tampil ke depan menggeser agama, manusia terutama dimengerti dari kemampuan-kemampuan alamiahnya seperti minat intelektualnya, pembentukan karakternya, apresiasi estetisnya. Kemudian perhatian ditumpahkan pada tolerasi, vitalitas jiwa, keelokan raga, persahabatan. Sehingga dapat dikatakan pula pada abad inilah istilah ‘sekular’ itu mecuat di tengah semangat rasionalitas.
Bicara kemunculan humanisme, tak dipungkiri juga ada pengaruh perkembangan filsafat yang membantunya di sana. Yakni dimulai dengan perdamaian antara filsafat (khususnya Aristoteles dan Plato) dan Kitab Suci, kesusastraan Yunani kuno dan ajaran-ajaran wahyu. Bukan tanpa resiko untuk para pembela humanisme kala itu, justru karena otoritas agama sangat kuat, dan mayoritas masyarakat banyak mengutamakan hal ‘ukhrawi’ daripada kehidupan di bumi yang fana ini. Sehingga dampaknya sang pembawa gerakan humanis dianggap bidah, seperti nasibnya Giordano Bruno (1548-1600) yang mesti mendapat resiko dikejar-kejar dan dibakar (hal 9). Di antara negara Eropa yang terdapat gerakan humanisme di awal-awal pintu modern ini di antaranya adalah Italia, kemudian merambat cepat ke kawasan Jerman, Prancis, Belanda, dan lain-lain.
Kemanusiaan tanpa Tuhan
Humanisme sering dikaitkan dengan ateis, hal itu memang wajar sebab pada awal kemunculannya gerakan ini mencoba menolak paham teosentris, yang dianggapnya sebagai belenggu bagi bakat yang ada dalam diri manusia. Sebagai responsnya maka hadirlah antroposentris, paham yang menganggap manusia sebagai pencatat sejarah di muka bumi dengan mengabaikan campur tangan agama yang irasional. Peristiwa penghargaan atas nilai-nilai kodrati manusia menjadi radikal dalam humanisme ateistis ini. Humanisme ateis dapat dipandang sebagai reaksi historis atas pengalaman buruk itu yang pada gilirannya membuat orang melihat Tuhan atau – lebih tepat kepercayaan kepada-Nya – sebagai infantilisasi dan pengebirian otonomi manusia (hal 16).
Dalam memandang humanisme periode ini, penulis mengkajinya dengan deskripsi historis dan epistemologi. Secara historis, zaman Pencerahan abad ke-18 tercatat sebagai satu pencapaian prestasi besar peradaban manusia yang mulai memandang sejarah dan masa depannya secara anyar. Tokohnya diwakili oleh Immanuel Kant (hal 16). Tokoh ini memandang Abad Pertengahan sebagai ketidakberanian berpikir manusia untuk ‘berpikir sendiri’ di luar tuntutan dogmatisme agama dan tokoh di dalamnya. Sehingga di masa pencerahan ada istilah ‘membunuh tuhan’ karena dipandang telah mengebiri otonomi manusia. Akan tetapi penulis memandang ada kontradiksi untuk istilah ‘membunuh Tuhan’ tersebut, antara lain adalah karena menurut ateis Tuhan harus dibunuh dalam kesadaran manusia, tapi yang jelas untuk membunuh mesti ada terlebih dulu ‘yang dibunuhnya’. Hal ini secara tersirat menyatakan bahwa ateis tetap menerima keberadaan Tuhan kalau mau membunuh-Nya, begitu pun istilah ‘ateis’ kemunculannya adalah karena adanya ‘Tuhan’. Sehingga penulis lebih menyetujui istilah ‘menghapus kesadaran’ akan Tuhan daripada diksi ‘membunuh Tuhan’.
Walau kelahiran humanisme mendapat campur tangan dari perkembangan filsafat, akan tetapi humanisme bukanlah perkara filosofis belaka. Dalam hal ini, penulis mulai tergerak masuk ke ruang gerak faktual khususnya di saat menjamurnya negara-negara fasis kala itu. Inilah masa pasca humanisme melewati masa sulitnya dari kekangan dogma agama, kemudian ia mesti terbentur oleh paham antroposentris yang kebablasan. Di mana abstraksi ‘manusia’ dilakukan secara sepihak tanpa kompromi, sehingga menganggap orang yang tak sepaham dianggap belum jadi manusia yang bermartabat, berperadaban dan istilah lain yang membuat dirinya sebagai cermin kemanusiaan mutlak yang mesti diikuti. Jelmaannya itu disebut-sebut sebagai ‘kolonialisme’, marak di abad ke-15 sampai ke-18 yang aktornya adalah negeri-negeri Eropa. Di sini kita harus masuk ke dalam persoalan yang jarang dibahas ketika humanisme dibicarakan, yaitu kaitan humanisme dan kolonialisme atas bangsa-bangsa di lua Eropa seperti Asia, Afika, India, Amerika, atau Polinesia (hal 33). Sehingga jika dalam humanisme ateistis gambaran tentang Tuhan dapat mengalienasi manusia, maka di sini giliran pandangan manusia terhadap humanismelah yang membuat alienasi ada manusia itu sendiri.
Yang perlu jadi catatan pada lembaran ini, bahwa dalam sejarah kolonialisme telah menampilkan hegemoni kultural barat yang menawarkan suatu eksklusivisme dalam humanisme. Yah, ini jadi satu yang paradoks, menawarkan ‘humanisme universal’ dengan jalan tak memanusiakan lagi sepihak. Saya setuju dengan ungkapan penulis yang menyatakan; humanisme, seberapa universalnya pun klaimnya dengan demikian tetap berciri ekslusif, jika ‘kemanusiaan universal’ dimaknai hanya oleh satu rezim tafsir yang menyingkirkan tafsir-tafsir yang lain (hal 39). Otoritas Lenin sebagai pelaku Revolusi Rusia adalah satu contoh yang menyangkut hal ini. Saya kutip dari film Russian Revolution in Colour (2004), “Republik demokratik adalah langkah mundur, dan langkah maju adalah Republik Soviet, diktator proletariat…. Lenin tak pernah ingin membagi kekuasaan dengan partai politik lain, dia percaya jalannya yang benar dan yang lain sekadar intelektual borjuis kecil yang akan mengantarkan revolusi pada kehancuran.” Begitu dengung suara dalam film itu, yang membawa kesan pada diri Lenin yang merasa diri paling benar, yang meggiringnya pada laku yang tak elegan, dengan menumpahkan banyak darah atas nama revolusi. Contoh lainnya adalah teriakan orang-orang takfiri yang sedang marak di negeri kita kali ini, yang menjadi pelengkap bukti bahwa ‘merasa terbenar’ akan menjatuhkan kebenaran yang dipegang orang lain, bahkan sampai melukai tangan yang memegangnya.
Lenyapnya Humanisme?
Setelah perjalanannya yang melewati kekangan dogma agama, kemudian bertemu dengan panggung kolonialisme dan totaliterianisme sebagai kerangka antroposentris yang naif; selanjutnya humanisme mendapat semprotan dari beberapa tokoh filsafat, seperti Martin Heidegger, Jacques Derrida, Richard Rorty, dan Niklas Luhmann dengan beragam perspektif yang beragam. Umpamanya, bagi Heidegger, humanisme adalah sebagai perkara diskursus yang tidak hanya dituturkan dalam sebuah forum, melainkan menjadi pusat tuturan dan pengetahuan suatu zaman, yaitu modernitas. Kemudian ia lebih menekankan pada soal ‘hakikat kemanusiaan’, hal ini berbeda dengan Derrida yang justru ingin menghentikan pencarian hakikat tersebut. Baginya, pencarian hakikat itu sia-sia dan akan membangun suatu rezim makna yang bersifat hirarkis. Sehingga inilah yang mengungkap oposisi antara asli dan tidak asli, hakiki dan hakiki, dampaknya lahirlah marginalisasi, alienasi, represi, dan dekonstruksi pada yang lain (hal. 54).
Kemudian giliran Rorty yang menolak ‘kosakata akhir’, sebagai tolok ukur bagi kebenaran. Sementara itu, Luhmann yang mengambil teropong sosiologi memandang perlunya mengeluarkan manusia dari pusat masyarakat sehingga tidak memiliki kedudukan istimewa di atas sistem-sistem lainnya, melainkan sederajat dengan mereka. Ia bahkan berani menyatakan, “manusia tidak lagi merupakan ukuran masyarakat. Gagasan humanisme ini tidak dapat berlanjut.” Demikian ungkapannya dalam Sosial System (1995).
Begitulah gagasan humanisme yang mendapat peluru-peluru kritik yang akan mendewasakannya, yang akan merubah karakter keras, fanatis, dan picik yang bercokol dari setiap obesesi intelektual, entah itu teosentrisme maupun antroposentrisme. Namun jangan kira kritik para ahli di atas adalah sebuah kehancuran bagi humanisme sebagai gerakan untuk manusia agar lebih beradab, justru sebaliknya, mesti jadi pelajaran yang akan menutup celah-celah lemah yang luput di masa lalu. Pelajaran itu akan didapat salah satunya dengan membaca buku ini.