JURNALPOSMEDIA.COM-Terlihat orang-orang berpakaian layaknya gladiator siap bertempur lengkap dengan perisai dan helm, serta pakaian pangsi ditambah rompi dari anyaman bambu. Minggu, (13/10/2019) pukul 11.00 WIB di RW 03, Kampung Cikareumbi, Desa Cikidang, Lembang, Bandung Barat.
Sebelum perang tomat dimulai, para tetua adat mendoakan keselamatan bumi. Dilanjutkan dengan tarian dari gadis-gadis desa setempat dan arak-arakan jampana atau mengarak hasil bumi seperti sayur mayor dan padi hasil bumi sendiri. Diiringi pula kesenian sisingaan diikuti ratusan warga di belakangnya.
Lalu, terdapat sawen, semacam gantungan yang diikat dari ujung ke ujung, didalamnya terdapat makanan yang dibungkus dan diikat menggunakan janur. Sawen tersebut dipasang di sepanjang jalan RW 03. Tujuannya sebagai pagar agar keburukan tidak masuk ke dalam rumah atau bangunan sepanjang jalan itu.
Begitu para tokoh melempar tomat ke arah prajurit, disitulah sang pemimpin memberikan aba-aba sebagai pertanda Rempug Tarung Adu Tomat sudah dimulai. Seketika, ratusan buah tomat berterbangan di udara menghujam dua pasukan yang saling berseteru.
Sontak warga dan pengunjung pun turun ke jalan menggunakan jas hujan sebagai pelindung. Mereka pun terbagi menjadi dua kubu yang bersebrangan. Saling melempar buah tomat tak terelakan, sampai penonton yang tak terlibat menjadi korban tomat busuk yang menghujam ke pinggir arena perang.
Begitu banyaknya tomat yang dilemparkan, sekujur tubuh prajurit dan para warga penuh dengan sisa-sisa amunisi. Seperti yang terus menerus mereka terima selama peperangan berlangsung. Sorak dan teriakan menggelegar dari semua warga yang hadir di tempat itu. Dilengkapi iringan musik gamelan yang membuat semangat gairah di medan perang. 15 menit kemudian kondisi jalanan berubah memerah beserta orang-orang di dalamnya.
Begitulah situasi dan kondisi selama perang tomat berlangsung seperti halnya di Spanyol. Salah satu pemuka adat, Dada Anwar mengatakan, jika acara tersebut sebagai bentuk ritual. Mengeluarkan kebusukan hati yang terdapat di dalam tubuh manusia dan juga bentuk pengenalan budaya.
“Dengan buah tomat ini supaya yang buruknya dihilangkan. Kita lawan yang buruknya ini, kita buang yang buruknya ini. Kita ambil sejarah perjuangannya dari leluhur sampai sekarang jangan ditinggalkan budaya ini,” tuturnya.
Penggagas Rempug Tarung Adu Tomat, Mas Nanu Munajar Dahlan dan kerap disapa “Abah” ini menjelaskan filosofi dari. Perang tersebut adalah sebagai perlawanan terhadap kebusukan-kebusukan sifat manusia. Sedangkan tomat yang dilemparkan sebagai bentuk kebaikan, karena dapat dimanfaatkan.
“Bukan tanpa alasan tomat-tomat busuk itu dilemparkan ke topeng itu. Topeng itu ibaratkan kebusukan yang timbul dari wajah manusia. Banyak sekali wajah-wajah busuk pada saat ini. Maka dari itu kita lawan. Nah, buah tomat yang berjatuhan itu tidak dibiarkan begitu saja karena kita ubah jadi pupuk kompos. Sehingga tidak mubadzir dan bermanfaat,” ujar sang seniman dan budayawan tersebut.
Masyarakat dan petani setempat mengapresiasi acara yang berlangsung didaerahnya. Seperti diungkapkan Petani disana, Suhenda, ia mengaku merasa senang dan berharap panen sayur bisa lebih baik lagi.
“Seru dan menyenangkan. Saya berharap bisa lebih baik lagi kedepannya dan hasil panen sayur mayur juga bisa lebih baik” katanya.
Selain Suhenda, Rina yang merupakan peserta dari Kota Bandung mengungkapkan kegembiraannya mengikuti acara tersebut dan berharap diadakan kembali.
“Sangat senang sekali, apalagi acara ini diadakan setahun sekali. Saya merasakan kebersamaan apalagi ketika sama-sama berlumuran tomat. Hal itu sangat mengharukan karena banyak teman yang menghampiri, memeluk saya, senang sekali pokoknya. Saya berharap acara ini diadakan lagi dan lebih rame lagi” ujarnya.