Sudah genap lima puluh tahun sejak pertama kali aku memutuskan untuk mulai rajin beribadah kepada Tuhan, tapi hingga sekarang tidak juga muncul tanda-tanda hari kiamat. Saat orang-orang mulai percaya bahwa hari itu akan tiba. Sebuah hari yang siapapun mendengarnya pasti akan bergidik ketakutan. Begitulah mulanya Tuhan memberi petunjuk kepadaku untuk mulai menyempatkan waktu bertemu-Nya. Sebelumnya aku hanyalah seorang durjana, yang selalu kebingungan jika ditanya soal agama. Namun detik ini, inilah aku, seorang taat yang menunggu datangnya kiamat.
Dahulu, orang-orang percaya bahwa tanda hari kiamat sudah segera tiba. Mereka mulai menghubungkan segala kejadian alam dengan teguran Tuhan. Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus sampai keringnya danau disebabkan oleh manusia yang biangnya celaka. Negara-negara mulai tidak akur, berebut masalah sana-sini. Bahkan, kabarnya ada pihak sengaja membangkitkan makhluk hina yang diutus Tuhan untuk mengacaukan dunia. Pokoknya dunia saat itu sedang kacau-balau, tak ada yang dapat dipercaya.
Maka saat itu aku mulai berpikir bahwa semua itu adalah rancangan agar sangkakala segera ditiup dan segala yang hidup segera ditutup. Untuk pertama kalinya dalam umurku yang sudah dua puluh enam, aku mengambil wudu, berharap agar kotoran di pikiran dan hatiku terbasuh oleh air suci itu. Aku lalu sujud, membaca doa sekenanya. Tidak luar biasa, hanya ucapan maaf yang disampaikan sepenuh hatiku.
Aku mulai dengan kalimat biasa “Teruntuk Tuhanku, aku telah menemukan jawaban atas kebuntuanku. Mohon maafkan hambamu yang terkutuk”. Tiba-tiba saja aku teringat masa lalu yang benar-benar tidak patut diceritakan. Sebuah masa singkat yang ah aku pun tak sanggup membayangkannya kembali. Seberkas air hangat membalur di dinding pipi. Aku tak kuasa melihat diri sendiri di hadapan timbangan raksasa nanti, saat dosaku dihitung lebih besar dari perbuatan baik yang jarang aku lakukan.
Mungkin hanya beberapa kali aku berbuat baik, setidaknya itu yang masih diingat olehku. Waktu itu, saat umurku tiga belas tahun, aku tak sengaja menemukan seekor kucing yang hampir mati tenggelam di sungai dekat rumah. Aku yang disebut oleh temanku jago berenang, segera menceburkan diri ke sungai, lalu meraih ekor kucing itu. Ia meronta kesakitan sambil megap-megap berusaha mengambil napas karena cengkaraman tanganku terlalu kuat untuk ekor tulang rawan kucing itu. Akhirnya aku menepi, di sebuah teluk kecil yang landai. Aku rebah lemas setelah susah payah berenang di arus yang kuat itu. Kucing itu pun ikut rebah, sebentar, sampai akhirnya ia mengambil pijakan pertama lalu berjalan meninggalkan aku sambil mengibaskan bulunya yang basah. Aku tersenyum. Satu usaha baik sudah diganjar di tangan kananku.
Sedang pada manusia entah kenapa aku tidak bisa sepenuh hati berbuat baik. Pernah aku menolong nenek tua menyeberang jalan raya. Sesampainya di seberang ia memaksaku untuk menerima selembar uang. Dengan berat aku menerimanya. Tetapi celakanya kebiasaan tersebut seakan berputar-putar terus, laksana lidah api yang menyulut batang kayu, kebiasaan itu semakin menjadi-jadi. Sehabis melancarkan aksi penolongan kepada seseorang, ada saja yang aku ambil dari dompet atau tas jinjingnya. Bahkan pernah ada seorang pegawai kantor yang kebetulan aku perbaiki mesin mobilnya setelah seharian mogok di jalan kampung. Sehabis memastikan bahwa mobilnya dapat berjalan normal, minimal sampai pom bensin terdekat aku paksa ia menyerahkan seluruh isi dompetnya. Selesailah, ia melanjutkan perjalanannya dan aku pun pulang mesam-mesem.
Belajar agama itu awalnya begitu berat. Bayangkan, kamu harus bangun pagi begitu butanya untuk mengambil air wudu dan mengerjakan Subuh. Atau setidaknya kamu harus mengosongkan waktu empat jam setiap harinya untuk berdoa secara khusyuk. Tapi aku lakukan itu dengan telaten, semata-mata karena ketakutanku pada hari kiamat. Aku mulai mengaji ke sana ke mari, ke ratusan pondok. Bermacam Ustaz, Haji, Kiai, Gus atau Habib aku datangi setiap malamnya untuk belajar ilmu agama. Tidak lupa kini aku lebih ikhlas menolong sesama, tanpa mengharapkan imbalan. Hidupku berubah seratus delapan puluh derajat sejak orang-orang mulai membicarakan hari itu.
Suatu ketika saat musim hujan di bulan Oktober, sehabis pulang dari pengajian rutin di pesantren, aku berjalan melewati hutan kecil antara Pati dan Rembang. Saat itu jam lima seperempat, tidak seperti biasanya Gus Mul terlambat mengakhiri pengajian dengan bacaan hamdalah. Beliau sepertinya terlalu asyik berceramah tentang hari penghabisan, ujar beliau dengan gaya yang khas, kami mesti percaya pembalasan bagi mereka yang begitu berdosa di hari pembalasan nanti. Aku teringat lagi dosaku yang besarnya tak karuan. Aku pasrah dan menerima kenyataan bahwa aku adalah golongan yang akan menemui kiamat nantinya karena satu dosaku yang begitu tak termaafkan. Dosa yang tak bisa aku ceritakan, dosa yang berkali lipat lebih dosa dari dosa lain. Kalimat berulang yang terus mengulang-ulang di pikiranku. Akhirnya aku putuskan untuk aku tunggu hari itu, sambil sedikit-sedikit mengurangi beban dosaku.
Halilintar menyilet langit yang bergulung seperti kain berwarna abu-abu. Hujan turun kemudian, dibarengi dengan rintik yang semakin lebat. Aku berteduh di bawah pohon albasia yang nampak belum cukup dewasa. Namun hal itu belum cukup untuk menahan kerasnya air hujan yang dari tadi meninju wajahku. Swing, jap kanan, jap kiri, swing lagi, jap lagi. Sampai akhirnya aku duduk berjongkok ketakutan sambil mendekap lutut seperti telur rebus. Aku berdoa, berdoa lagi hingga bibirku kaku. Aku mengambil wudu, lalu mengatakan sesuatu pada diriku. Aku percaya bahwa hari ini bukanlah hari itu. Untuk saat ini aku belum siap, baru sebentar saja aku mendekati Tuhan. Dan benar saja, angin mereda dan gerimis mulai bersahabat. Aku semakin percaya bahwa mungkin besok, mungkin lusa, seminggu ke depan, atau sepuluh tahun dari saat ini aku baru menemui hari itu.
Namun, hari yang aku tunggu itu tak kunjung tiba. Di saat aku semakin siap, dunia malah merayakannya dengan suka cita. Empat belas tahun setelah kekacauan itu manusia mulai berpikir untuk meneruskan dunia dengan lebih baik. Orang-orang mulai percaya bahwa untuk tujuan tersebut, mereka harus berdamai dengan sesama. Alhasil tumbuhlah sebuah peradaban modern yang belum pernah dicapai kapan pun, sejak manusia pertama kali menginjakkan kakinya di bumi.
Orang-orang mulai berpikir untuk menjaga alam, tidak ada lagi mala petaka besar yang menewaskan ribuan orang. Sekalipun ada yang meninggal akibat bencana, itu hanyalah orang yang lagi apes saja. Toh jumlahnya pun tidak banyak-banyak. Manusia mulai membikin tata kota baru, dengan lebih memerhatikan lingkungannya. Emisi karbon dari kendaraan dibuat sekecil mungkin. Dan jika kamu pernah mendengar hanya orang berilmu tinggi yang dapat berjalan di angkasa, maka hari ini semua orang bisa. Mereka menggunakan semacam sepatu terbang untuk loncat ke sana ke sini.
Bahkan tahun kemarin di Jakarta baru-baru saja diluncurkan alat baru yang dapat mengganti keringat menjadi air tawar yang dapat langsung kembali di serap oleh tubuh kita. Cukup menempelkan alat tersebut di pusar atau lekukan tubuh lain, maka kamu kuat tidak minum dua hari. Solusi yang tepat buat mengurangi sumber daya alam yang sudah sekarat ini. Perubahan politik pun mulai kentara, semua pihak baik Barat atau Timur mengiblat pada satu panji berwarna hitam yang pusatnya ada di sekitar Yaman sana. Sirna sudah perseteruan abadi antara negara-negara yang dahulu saling bersitegang.
Aku pun kini tinggal di jantung kota Semarang. Kota indah yang maju dan agamis. Sejak kejadian di hutan kecil itu, aku tidak ingin menemui lagi hari seperti itu sendirian. Akhirnya aku tinggal di daerah Kedungsapur di dalam hunian vertikal berlantai delapan. Sehabis Subuh aku menyeruput kopi yang masih hangat dari mesin di dapur. Sengaja aku menyetel otomatis pada jam sehabis Subuh agar rasa kantuk segera hilang dan aku dapat melanjutkan membaca kitab suci sampai menjelang jam kantor. Selanjutnya aku berganti pakaian, lalu mengambil tablet kecil dan bergegas membuka pintu rumah.
Sudah dua tahun istriku pulang menghadap Tuhan terlebih dahulu. Aku kini berusia 76, dan tak ada tanda-tanda menua di wajahku. Semua berkat terapi laser yang diberikan dokter pribadiku setiap akhir pekan. Kerutan, flek hitam di wajah, dan rambut bening seketika hilang setelah disinari selama lima belas menit. Tapi ada satu yang kian lama makin menua, yaitu rasa percaya akan hari kiamat.
Aku menyusuri jalan-jalan bertingkat sambil memerhatikan pantulan langit di dinding kaca gedung. Aku melihat diriku yang masih bugar tanpa sedikit pun celah usia melemahkan salah-satu ototku. Awan-awan bergelantungan putih bersih di antara pekerja yang sudah sibuk dengan rutinitasnya. Matahari tak pernah semanja ini, dan udara tak pernah semenyenangkan ini. Aku berpikir kapan waktunya hari itu tiba? Bagaimana jika Tuhan memaafkan dosa-dosa manusia dan membatalkan hari itu?
Kecemasan ini terbawa seharian. Pemberitahuan pekerjaan yang semakin menumpuk di tablet. Aku tak menghiraukan itu, yang aku lakukan hanya duduk memandangi langit dari balik jendela kantor. Seperti biasanya orang lain hanya terpaku pada layar tabletnya masing-masing, membenahi setiap tujuan mereka masing-masing. Bukankah manusia hidup untuk tujuan? Tujuan mereka adalah hidup dan bekerja dengan baik. Sedang aku, tujuanku satu-satunya adalah menunggu hari yang tak juga kunjung datang. Aku hening, terbawa lamunanku sendiri.
Hingga tiba-tiba suara azan dari arloji di lengan kanan terdengar nyaring. Suara yang sama sejak lima puluh tahun lalu yang katanya dari Masjid Nabawi sana. Aku terhenyak dan segera mengakhiri lamunanku. Aku kemudian berpikir untuk bertanya kepada orang-orang yang lebih pintar agama daripadaku. Aku raih tablet di samping, lalu aku rekam semua pertanyaan terhadap kapan sebenarnya hari itu akan datang. Aku sungguh-sungguh sudah menantikannya.
Sekian lama aku sibuk mencari jawaban pada layar tabletku. Tak ada yang tampak. Semua sumber lepas tangan untuk perkara ini. Juga tak ada pesan yang muncul sebagai balasan dari Kiai yang mulai jarang di zaman ini. Yang paling celaka aku lupa empat rakaat Dzuhur karena saat itu sudah hampir jam pulang kantor. Pukul empat kurang seperempat.
Aku pulang dengan rasa penasaran. Sesampainya aku langsung mencari buku-buku agama yang aku ingat terakhir aku taruh di rak otomatis di balik dinding kamar. Aku membalik halaman, satu persatu hingga seluruh kolom rak aku lewati. Hasilnya nihil, tidak ada keterangan apa pun mengenai kapan hari tersebut akan terjadi. Yang ada hanyalah keterangan dan gambaran kengerian bagaimana hari tersebut akan mengakhiri semua kehidupan di dunia. Kecemasan ini sudah mengganguku sekian lama, aku berkeringat, aku mulai ragu.
Satu kesempatan terakhir yang aku pikirkan untuk mencari jawaban atas kecemasan itu adalah dari satu kitab suci berbentuk buku yang sengaja aku simpan di lemari pribadi di dalam ruang kerjaku. Sudah lama aku tidak membukanya, sebab sekarang buku-buku telah digantikan oleh layar hologram yang dapat ditampilkan melalui arloji, kacamata, atau tablet yang selalu orang-orang pegang. Aku berhambur ke sana, lima belas depa dari tempat kini aku berdiri aku melihat sebuah tombol yang jika aku tekan akan segera mengeluarkan kitab tersebut. Tidak kuasa aku menahan rasa cemas dan keringat yang membasahi sekujur tubuh. Aku diam sejenak sambil mengumpulkan kekuatan untuk menekan tombol itu.
Kini telunjukku sudah menekan tombol itu dengan sempurna. Nyaris sepuluh detik lamanya aku menekan tak ingin lepas. Hingga aku terkesiap saat mendengar suara petir menyilet langit hitam malam itu. Jemariku terlepas dan lemari membuka dari balik dinding ruangan berwarna putih susu itu. Aku menangis saat aku mendapati rak lemari tersebut sudah kosong, tidak nampak sesuatu apapun.
Petir menyilet langit kedua kali. Tiba-tiba semua menjadi putih. Begitu putihnya hingga dinding ruang yang putih susu semakin menjadi putih dan kian memutih. Aku diam. Kemudian entah dari mana muncul suara yang siapapun mendengarnya akan bergidik ketakutan. Sangkakala yang aku tunggu!
Penulis merupakan pengajar di salah satu sekolah di Kabupaten Bandung dan bergiat di komunitas Ngampar Boekoe Cimahi.