JURNALPOSMEDIA.COM – Gelombang aksi yang merebak pada 28–30 Agustus 2025 bukanlah gejala spontan, melainkan hasil dari akumulasi kemarahan rakyat yang kian lama ditekan. Tragedi 28 Agustus saat Affan Kurniawan, pengemudi ojek online (ojol), tewas dilindas mobil rantis Brimob di tengah aksi buruh menjadi pemantik yang menyingkap luka lama: negara masih memilih kekerasan sebagai bahasa untuk merespons suara warganya. Affan tidak sekadar korban, ia simbol dari rakyat kecil yang tersingkir oleh arogansi kekuasaan.
Tanggal 29 Agustus menjadi panggung besar kemarahan itu. Di Bandung, ratusan mahasiswa dari berbagai universitas bersatu dalam aksi demonstrasi. Mereka turun bukan hanya untuk mengenang Affan, melainkan untuk menuntut reformasi Polri, menolak kriminalisasi massa, dan menggugat kredibilitas institusi negara.
Teriakan “bubarkan DPR” dan “bubarkan Polri” yang menggema di depan Gedung DPRD Jawa Barat jelas bukan sekadar provokasi, melainkan ekspresi kekecewaan yang mendalam terhadap lembaga yang dianggap gagal menjalankan fungsi demokratisnya. Ketika mahasiswa yang sering menjadi barometer nurani bangsa sudah berani mengumandangkan tuntutan sekeras itu, artinya krisis legitimasi sedang berada di titik genting.
Di saat bersamaan, Jakarta menjadi saksi bahwa protes tidak berhenti di satu kota. Ribuan massa bertahan di depan kompleks DPR/MPR/DPD sejak 28 Agustus hingga dini hari 30 Agustus. Suara petasan, ledakan mercon, dan tembakan gas air mata silih berganti. Alih-alih membuka ruang dialog, negara kembali memilih pendekatan represif. Hasilnya fatal: bukannya meredam, aksi justru bertahan lebih lama, kemarahan lebih luas, dan kepercayaan publik semakin runtuh.
Rangkaian aksi ini menunjukkan satu hal yang tak bisa dibantah: Indonesia sedang menghadapi krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Tragedi Affan hanyalah pemicu; akar masalahnya adalah budaya kekerasan aparat yang dibiarkan berulang, parlemen yang tak lagi dipercaya, serta pemerintah yang gagap menghadapi kritik rakyat. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang dialog kini dipersempit menjadi arena konflik jalanan.
Lebih dari itu, aksi 28–30 Agustus membuktikan bahwa solidaritas rakyat lintas kelompok masih hidup. Buruh, mahasiswa, hingga masyarakat sipil bersatu dalam tuntutan yang sama: akuntabilitas dan keadilan. Ini sekaligus menjadi peringatan bagi penguasa bahwa legitimasi tidak bisa hanya dipertahankan dengan retorika pembangunan atau jargon stabilitas. Ketika keadilan diabaikan, rakyat akan menemukan bahasanya sendiri di jalanan.
Represi demi represi hanya akan memperkuat narasi perubahan radikal yang kini mulai digaungkan. Ketika mahasiswa berteriak “revolusi kerakyatan,” itu adalah refleksi dari ketidakpercayaan total terhadap sistem yang ada. Bahaya terbesar bagi pemerintah bukanlah massa yang berteriak di jalan, melainkan hilangnya kepercayaan yang membuat rakyat merasa tidak lagi punya tempat di dalam sistem demokrasi.
Karena itu, aksi 28–30 Agustus harus dibaca sebagai alarm demokrasi. Jika negara tetap menutup mata, gelombang protes akan terus membesar dan bisa berubah menjadi krisis politik yang mengguncang fondasi kekuasaan. Pemerintah tidak lagi punya kemewahan untuk menunda: reformasi Polri, penegakan hukum terhadap aparat yang represif, dan pembukaan ruang dialog dengan rakyat adalah syarat mutlak untuk meredam krisis ini.
Demonstrasi bukanlah ancaman bagi demokrasi, justru ia adalah sarana rakyat menjaga agar demokrasi tidak dikhianati. Tragedi Affan, aksi mahasiswa di Bandung, hingga keberanian massa bertahan di Jakarta adalah potret bahwa rakyat masih peduli pada republik ini. Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah negara masih peduli pada rakyatnya?