JURNALPOSMEDIA.COM – Berawal dari perjuangan ratusan ribu buruh di Amerika pada 1 Mei 1886 yang melakukan mogok massal menuntut delapan jam kerja, yang dikenal dengan Haymarket Affair. Lalu tiga tahun berikutnya, Konferensi Sosialis Internasional memperingati tragedi tersebut sebagai hari libur internasional.
Di Indonesia, Hari Buruh Internasional atau May Day kerap diisi dengan aksi yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh di berbagai daerah. Para buruh menyuarakan aspirasinya terhadap aturan-aturan pemerintah yang dirasa memberatkan mereka.
Seperti aksi May Day tahun 2019 lalu yang digelar di depan Gedung Sate kota Bandung. Salah satu serikat peserta aksi yaitu K-SPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Jawa Barat menuntut setidaknya beberapa poin.
Poin tersebut diantaranya adalah mencabut PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Perpres No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, menurunkan harga sembako dan menuntut gubernur Jawa Barat untuk segera menuntaskan (Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota) UMSK 2019 yang belum selesai.
May Day 2020
Tahun ini, di tengah pandemi Covid-19, buruh di Provinsi Jawa Barat yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI), mendirikan posko-posko pengaduan sebagai salah satu aksi mereka.
Posko-posko tersebut bertujuan untuk mengadvokasi kasus-kasus yang dialami para buruh sebagai salah satu elemen yang terkena dampak pandemi Covid-19 seperti (Pemutusan Hubungan Kerja) PHK sepihak dan Tunjangan Hari Raya (THR)-nya dihapus.
Selain dihadapkan pada masalah terdampak pandemi Covid-19, para buruh di Indonesia juga diancam dengan keberadaan omnibus law cipta kerja. RUU yang drafnya diserahkan kepada DPR pada 12 Februari 2020 lalu ini menuai kontroversi dari masyarakat yang berujung kepada penolakan disahkannya RUU tersebut. Alasannya karena dipandang akan banyak sisi negatif daripada positifnya, khususnya bagi kaum buruh.
Melansir dari katadata.co.id, ada sembilan alasan penolakan RUU tersebut yang diutarakan oleh KSPI yaitu sebagai berikut.
- Hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota;
- Masalah aturan pesangon yang kualitasnya rendah dan tanpa kepastian;
- Aturan itu membuat sistem pemakaian tenaga alih daya atau outsourcing yang semakin mudah;
- Sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan dihapuskan;
- Jam kerja yang eksploitatif;
- Karyawan kontrak akan sulit menjadi pegawai tetap;
- Penggunaan tenaga kerja asing, termasuk, buruh kasar semakin bebas;
- Perusahaan akan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan;
- Hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan pensiun.
Pemerintah juga dinilai tidak transparan dalam penyusunan RUU ini karena tidak melibatkan perwakilan buruh atau aspirasi masyarakat di dalamnya.
Untuk dapat melihat draf RUU omnibus law, silahkan klik link untuk mengunduh