Fri, 19 April 2024

Karinding, “Si Kecil” yang Terlupakan

Reporter: Agung Rakhmadi/Magang | Redaktur: Reta Amaliyah Shafitri | Dibaca 264 kali

Thu, 15 February 2018
Agung Rakhmadi/Magang

JURNALPOSMEDIA.COM–Karinding adalah salah satu alat musik tradisional dari Jawa Barat yang cara memainkannya dengan dibetrik atau dipukul secara perlahan di bagian ujungnya, lalu tengahnya dijepit dengan bibir. Sedangkan untuk mendapatkan nada yang pas adalah dengan mengatur bukaan tenggorokan. Karinding dibuat dari pelepah pohon kawung atau bisa juga dari bambu. Selain karinding dari Jawa Barat, beberapa provinsi di Indonesia juga memiliki alat musik serupa karinding seperti genggong dari Bali dan kudinding dari Kalimantan.

Jenis bahan dan desain bentuk karinding menunjukkan perbedaan usia, tempat, dan perbedaan gender pemakai. Misal, karinding bambu yang menyerupai susuk sanggul, banyak digunakan oleh kaum wanita. Konon, mereka menyimpannya dengan ditancapkan pada sanggul. Maka dari itu, karinding bambu disebut juga karinding bikang. Sedangkan laki-laki menggunakan karinding dari bahan pelepah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa diletakkan pada tempat mereka menyimpan tembakau. Karinding jenis ini disebut juga karinding jalu. Bahan yang digunakan juga menjadi pembeda tempat pembuatannya. Seperti di wilayah Priangan Timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena menjadi bagian dari kehidupannya.

Tidak ada ukuran baku untuk karinding, karena tergantung selera pengguna dan pembuatnya. Ukuran karinding akan berpengaruh terhadap bunyi yang dihasilkan, namun umumnya karinding memiliki ukuran panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Karinding terbagi menjadi tiga ruas, ruas pertama berfungsi untuk mengetuk atau memukul karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah yang akan menghasilkan suara karena gema dari rongga mulut. Ruas tengah berfungsi untuk menyimpan karinding di bibir. Sedangkan ruas terakhir berfungsi sebagai pegangan, dan biasanya diukir menjadi berbagai bentuk untuk menambah keindahan karinding. Kebanyakan bentuknya adalah setengah lingkaran, adapun yang diukir  membentuk senjata tradisional Jawa Barat yaitu kujang.

Alat musik karinding awalnya dimainkan oleh kalangan petani. Selain mengusir rasa jenuh ketika di sawah, suara karinding yang lowdecible atau memiliki nada rendah dipercaya dapat mengusir hama serangga dan burung. Walaupun belum ada penelitian ilmiah tentang hal tersebut, namun kerap ampuh karena hama terganggu dengan suara karinding.

Berkembangnya alat musik modern membuat karinding menjadi asing di mata pemuda. Mereka lebih senang mempelajari dan memainkan musik modern di banding musik tradisional. Tidak sedikit pemuda zaman sekarang yang tidak bisa memainkan alat musik karinding. Jangankan memainkannya, jumlah individu yang mengetahui karinding pun terbilang sedikit.

Hampir punahnya karinding, menyadarkan pemuda Bandung yang tergabung di komunitas Ujung Berung Rebels untuk membuat grup band musik bambu yaitu Karinding Attack. Pada 2008, grup yang dimotori oleh Man Jasad ini berhasil membangkitkan karinding dan menjadikannya magnet baru untuk para pemuda. Musik khas yang dikeluarkan karinding dikolaborasikan dengan musik metal yang membuat  pemuda tertarik untuk mempelajari alat musik ini.

Karinding Attack bukan hanya membuat karinding kembali dikenal di kalangan pemuda Jawa Barat. Man Jasad dan kawan-kawan melakukan beberapa tour luar negeri untuk mengenalkan karinding. Mereka melakukan tour ke Benua Eropa diantaranya Portugal, Belanda dan Perancis.

Bangkitnya kembali alat musik karinding, membuat pemuda Jawa Barat merasa bertanggung jawab untuk terus melestarikannya. Terbukti setelah Abah Olot dan Karinding Attack berhasil mengembalikan karinding yang dikabarkan punah, banyak kelompok yang memiliki nama baru seperti Markipat (mari kita merapat), Karmila (karinding militan), Republik Batujajar, Karinding Skateboard yang dimainkan oleh komunitas Skateboard, dan masih banyak lagi.

Karinding juga dimainkan dalam acara Bandung World Jazz Festival, Desember 2009. Meski karinding bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah, karinding justru mencuat pada festival jazz dunia diiringi musik elektrik dan instrumen modern, seperti gitar, terompet, dan drum. Maka mengalunlah lagu-lagu sunda dalam harmoni jazz dan karinding.

Kemunculan karinding yang dibawa oleh musisi metal dengan musik yang bertempo cukup cepat mengubah pandangan masyarakat tentang karinding. Tidak sedikit pemuda yang mengenal karinding bukan sebagai alat musik tradisional yang awalnya digunakan sebagai pelepas penat dan pengusir hama, tetapi mereka mengenal karinding sebagai alat musik untuk mengiringi musik metal. Bukan kesalahan besar banyak yang mengenal karinding sebagai musik metal, yang diperlukan hanyalah pengetahuan tentang budaya.

Sedikit edukasi dan rasa sadar akan budaya membuat tradisi di negeri ini khususnya alat musik karinding dapat dikenal kembali. Tak ada larangan untuk mempelajari dan menguasai seni modern yang datang dari penjuru manapun. Namun, jadikanlah pembelajaran alat musik tradisional menjadi kewajiban dan kebutuhan.

Jika bukan sekarang kapan lagi? Sebuah pertanyaan yang cocok untuk dipertanyakan pada para penerus bangsa. Apakah harus menunggu negeri lain kembali mencuri budaya kita? Haruskah budaya kita menghilang dan punah untuk membuat kita sadar? Tidak. Mulailah untuk mencintai budaya dan tradisi, karena apabila rasa itu telah muncul, takkan ada lagi kepunahan budaya dan pencurian tradisi oleh negeri lain.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments