Wed, 11 December 2024

Toleransi Kebergaman Nyaris Terabaikan

Reporter: Awallina Ilmiakhanza | Redaktur: Zairah Farah Diba | Dibaca 470 kali

Sat, 10 December 2016
(Dari kanan) panitia dan Ketua PW IPNU Jabar Amin Fajri, ketua PP IPNU Asep Irfan Mujahid, Wahyu Iriana, Arie Sudjito tengah berfoto bersama usai seminar, Rabu (30/11) di Aula Fakultas Adab dan Humaniora. (Ridwan Alawi/Kontributor).

Jurnalposmedia.com- Persoalan kebangsaan hari ini semakin kompleks. Persatuan bangsa kini terancam terpecah belah. Semangat toleransi pada keberagaman kini memudar. Umat islam dipersepsikan menentang kebhinekaan. Padahal dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) umat Islam di Indonesia berkontribusi besar dalam mengawal keragaman dan mendasarkan pondasi negara ini pada keberagaman. Indonesia tak akan sukses bila hanya ada Islam di dalamnya.

Hari ini mayoritas publik lebih percaya dengan arus informasi viral di media sosial tanpa memperdulikan kebenarannya. Kondisi ini sangat berbahaya dan dapat mengancam kebhinekaan. Konflik antar kelompok dengan sangat mudah bisa diprovokasi oleh isu di media sosial tanpa terlebih dulu mempelajari informasi yang berkaitan didalamnya.

Ketua Departemen Sosiologi Universitas Gajah Mada sekaligus Pengamat Politik, Arie Sudjito mengatakan persoalan Indonesia dulu adalah untuk menghentikan imperialisme. Corak Indonesia itu terbentuk dari keberagamannya. Keberagaman itu yang mengikat Indonesia. Benturan yang kini dihadapi adalah imperialisme baru dan perpecahan di antara masyarakat.

Padahal keberagaman itu mampu membentuk spirit keadilan Indonesia. Muusuh yang sebenarnya itu ketidakadilan global dan sekterian perspektif agama. Bukan perbedaan agama dan etis. Jelas dalam konstitusi membahas tentang keberagaman. Umat Islam perlu peka dan peduli supaya tidak terlibat dalam benturan ini. Bayangkan jika hal tersebut tidak dicegah.

“Mari kita peduli pada civil society praktis yang harus termanivestasi dalam panggung politik. Jadi subjek mengajak secara praktis demokrasi dan Kebhinekaan Indonesia pada masyarakat. Jangan hanya pada elit politik,” kata Arie.

Senada dengan Arie, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung, Wahyu Iriana mengungkapkan pentingnya menjaga Bhineka. Jika diibaratkan hujan, 25 persen itu basah dan 75 persen itu kenangan yang akan memunculkan pelangi indah. Pada pelangi itu ada banyak warna yang tersusun rapi. Mereka berbeda warna tapi indah dimata. Itu lah perbedaan yang ada di Indonesia, indah seperti pelangi yang diciptakan.

Guncangan yang terjadi saat ini sudah biasa,nsebelumnya Indonesia pernah menghadapi dan melewatinya. Menelik fenomena terdahulu dimana ada Negara Islam Indonesia (NII) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ingin memecah NKRI, tapi akhirnya NKRI tetap berdiri.

“Kesadaran palsu bernegara sudah menjangkit di Indonesia seperti elit politik dan mafia politik. Dan ini tanggungjawab kita bersama.Pelangi atau perbedaan itu adalah bingkainya bangsa Indonesia. Kalau kita gak paham bingkainya, bagaimana kita bisa berbangsa dan bernegara yang satu Indonesia.” tandasnya.

Hal tersebut disampaikan dalam Seminar Kebangsaan dengan mengusung tema Menjaga Indonesia Merawat Kebhinekaan. Seminar tersebut diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Adab dan Humaniora yang bekerjasama dengan Ikatan Pemuda Nadlatul Ulama (IPNU) Jawa Barat, Rabu (30/11) di Aula Fakultas Adab dan Humaniora. Mengahdirkan Ketua IPNU Jawa Barat yakni Asep Irfan Mujahid, Pengamat Politik yakni Arie Sudjito dan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, Wahyu Iriana.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments