Wed, 11 December 2024

Sejarah Kampung Langseng Paledang

Reporter: Reival Akbar | Redaktur: Monica Deasy Deria | Dibaca 747 kali

Sat, 25 November 2017
Salah seorang pengrajin langseng di Kampung Cikalang Paledang, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Sabtu (25/11/2017). Kampung langseng merupakan julukan untuk kampung Paledang, satu-satunya kampung di Kabupaten Bandung bahkan untuk lingkup Jawa Barat begitu melegenda. (Jurnalposemdia/ Reival Akbar)
Salah seorang pengrajin langseng di Kampung Cikalang Paledang, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Sabtu (25/11/2017). Kampung langseng merupakan julukan untuk kampung Paledang, satu-satunya kampung di Kabupaten Bandung bahkan untuk lingkup Jawa Barat begitu melegenda. (Jurnalposemdia/ Reival Akbar)

“Selama bunyi trang trang trang masih terdengar, berarti uang terus berputar.” Begitu kata para pengrajin langseng di Kampung Cikalang Paledang, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Kampung langseng merupakan julukan untuk Kampung Paledang, satu-satunya kampung di Kabupaten Bandung bahkan untuk lingkup Jawa Barat begitu melegenda. Konon, pengrajin langseng di kawasan ini hanya memiliki saingan di Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya.

Memasuki Jalan Paledang seperti memasuki dunia kaleng. Sejauh mata memandang, plat-plat kaleng memantulkan bayangan pepohonan, rumah dan warga yang berlalu lalang. Yang khas dari kampung ini adalah bunyi bising trang trang trang.

Sejarah dinamakannya kampung langseng karena pada tahun 80-an ada salah satu warga Kampung Paledang yang membuat langseng dan meraih kesuksesan. Hampir semua warga mengikuti jejak kesuksesan tersebut dengan menjadi pengrajin langseng. Namun, lain dulu lain juga dengan sekarang, produksi langseng di Kampung Paledang terancam oleh kemajuan zaman.

Salah seorang pengrajin, Asep (61) mengungkapkan sejak tahun 90-an warga setempat memilih untuk memproduksi langseng sebagai mata pencaharian. Jumlah pengrajin di kampung itu mencapai 50 orang. Hingga kini, hanya menyisakan 10 orang pengrajin. Satu persatu pengrajin memilih untuk beralih profesi karena persaingan yang semakin ketat dengan maraknya alat masak modern.

Asep menambahkan meroketnya harga bahan baku seperti tembaga juga menjadi salah satu kendala yang dihadapi para pengrajin. “Untuk menyiasati kondisi itu, saya sekarang memakai bahan baku alumunium kalvanik untuk pembuatan langseng yang tentu lebih murah dibanding dengan tembaga yang mencapai Rp 150 ribu per kilogram,” ujar pemilik pabrik MJ Grup tersebut.

Di sisi lain, permintaan pasar pun terus menyusut. Untuk menyiasati kondisi tersebut, Asep memakai trik jemput bola. Berbeda dengan kiat pemasaran produk lain yang kebanyakan didahului dengan pemesanan barang, trik jemput bola dilakukan dengan mendatangani konsumen secara langsung.

Salah satu pekerja bagian pemasaran, Yayan (40) mengatakan langseng dijual dengan harga mulai dari Rp 200 ribu – Rp 1,5 juta per set, tergantung ukuran langseng. “Ukuran langseng beragam, ada yang 4 kg, 5 kg, sampai 15 kg per setnya.” pungkas Yayan.

Kendati demikian, MJ Grup masih ingin tetap eksis di tengah keterbatasan. Produksi langsengnya dipasarkan bukan hanya di Bandung Raya, namun sudah ke berbagai daerah nusantara, mulai dari Sumatera, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments