Wed, 30 April 2025

Reyhan dan Pasukannya

Reporter: Deni Arisandi/Kontributor | Redaktur: | Dibaca 438 kali

Wed, 20 May 2020
tentara
Ilustrasi: gatra.com

Aku duduk di teras menghadap jalanan yang basah oleh hujan. Aku sempat bertanya saat usiaku masih anak-anak, kemana perginya matahari ketika hujan tiba? Dahulu aku hanya bisa memahami bahwa matahari dan bulan melakukan pekerjaannya bergantian dan selalu tidak menemukan jawaban kemana matahari pergi ketika hujan membasahi bumi yang kucintai ini. Samar-samar terdengar riuh suara anak-anak, aku yakin itu adalah suara anak-anak tetangga rumahku yang usianya kisaran 8-9 tahun. Mereka pasti sedang asik menikmati hujan sore ini dengan bermain lari-larian.

Benar saja, ketika aku ingin menyeruput coklat panasku, tiba-tiba mereka berjalan melewati rumahku membentuk barisan seperti pasukan paskibra yang hendak bertugas mengibarkan bendera ketika upacara. Lucunya, mereka semua menggenggam pelepah pisang yang di buat mirip seperti senapan. Sebelum mereka menghilang dari pandanganku, aku memanggil salah satu dari mereka.

“Reyhann…”

Seketika itu juga semuanya berhenti dan menoleh ke arah ku. Salah satu dari mereka berlari menghampiriku. Gerbang memang sengaja aku buka agar aku dapat lebih jelas melihat jalanan yang basah sore ini.

“Kenapa bang?” Nafasnya yang tidak teratur terdengar jelas ketika dia berbicara, tentu saja dia juga masih menggenggam pelepah pisang yang seperti senapan itu.

“Lagi pada main apaan itu?” Aku bangkit dari kursiku untuk mendekatinya.

“Kita semua lagi jadi tentara bang, sekarang lagi meriksa wilayah takutnya ada serangan mendadak.” Reyhan menyeringai hingga terlihat susunan giginya yang putih dan rapih.

“Siapa komandannya?” Aku jongkok agar wajah kita bisa berhadapan.

“Saya bang.” Tiba tiba Reyhan berdiri dengan posisi tegak, ekspresi wajahnya seketika berubah serius.

“Berapa jumlah pasukan kamu?” Dia tampak bingung.

“Komandan harus tahu dong jumlah pasukannya, kan komandan bertanggung jawab.”

Dia langsung menoleh kebelakang dan terlihat mulai menghitung dengan telunjuknya.

“Tujuh sama saya bang.”

“Nanti kalau udah beres meriksa wilayah, kesini ya sama pasukannya.”

“Siap” Reyhan memberi hormat kepadaku.

Aku berdiri dan langsung mengangkat tangan kananku untuk hormat juga, sambil tersenyum aku turunkan tangan kananku. Lalu Reyhan kembali berlari menuju teman-temannya dan melanjutkan aksinya.

**

Pisang goreng dan omelet sudah siap di piring terpisah. Adonan pisang goreng memang dari tadi sudah aku siapkan di dapur, niatnya akan aku goreng untuk menemaniku bersama cokelat panas sore ini, menikmati hujan dan mengutuki tugas perkuliahan. Cokelat panas baru saja aku tuang ke dalam teko dan sekarang aku tinggal menyiapkan tujuh cangkir. Tetapi riuh suara di luar sudah bisa kudengar.

“Assalamualaikum…”

Aku buru-buru keluar untuk menemui mereka dan meminta mereka menunggu sebentar.

“Waalaikumsalam, udah kelilingnya?”

Mereka tiba-tiba berbaris lalu Reyhan memberi aba-aba.

“Hormat gerak.”

Mereka semua serentak memberi hormat. Sambil senyum aku pun memberi hormat, lalu menurunkan tangan dan berkata, “Tunggu disini sebentar ya, jangan kemana mana.”

Lalu aku kembali ke dapur untuk mengambil yang telah aku sediakan dan membawa beberapa handuk kecil yang aku punya untuk mengeringkan kepala mereka yang basah. Sampai aku beres menaruh yang aku siapkan, mereka masih baris berdiri di depan terasku.

“Sini masuk, ada hadiah untuk kalian karena telah melaksanakan tugas.”

Tanpa aba-aba mereka langsung menjatuhkan pelepah pisang, membuka sendal dan langsung masuk ke teras lalu berebut duduk dekat meja, tidak ada satupun dari mereka yang berani duduk di kursi. Aku pun ikut duduk di bawah bersama mereka.

“Duduknya melingkar, nanti makanan sama minumannya taruh di tengah,” Kataku sambil duduk. Dengan segera mereka mengatur posisi duduk membentuk lingkaran.

“Turunin makanan sama minumannya!” Perintah ku kepada mereka.

Setelah semua diturunkan dan ditaruh di tengah-tengah kami, aku pun memberikan handuk yang aku bawa, ada tiga handuk. Aku suruh mereka bergantian mengeringkan kepalanya lalu setelah kering baru boleh menyantap hidangannya.

“Kalian semua ingin menjadi tentara?” Tanyaku di tengah keasyikan mereka menikmati omelet dan pisang goreng.

Hanif menggelengkan kepalanya lalu setelah menelan makanan di mulutnya ia menjawab, “Saya mau jadi presiden.”

Yang lain menertawakan jawaban Hanif, kemudian Reyhan membuka mulut.

“Kita semua mau jadi tentara bang, cuman Hanif yang mau jadi presiden. Kata dia biar dia bisa jadi panglima tertinggi dan jadi atasan kita semua. Aneh emang dia bang, masa presiden bisa punya pangkat dan ngebawahin tentara. Kan presiden enggak pernah masuk tentara. Aneh banget kan bang?” Reyhan kembali mengambil pisang goreng dan semuanya tertawa termasuk Hanif.

Aku tidak menimpali karena aku yakin suatu saat mereka akan mengerti. Selain itu, aku sangat terhibur dengan mereka. Mereka bebas menentukan impian mereka, mereka bebas menentukan akan jadi apa mereka kelak, pekerjaan apa yang akan mereka jalani dan yang paling penting, mereka selalu percaya dengan apa yang mereka impikan. Mereka menggenggam erat impian itu, tidak akan mereka biarkan orang lain menghancurkannya. Dalam kehidupan, kita memang dapat belajar dari siapapun dan apapun bahkan kapanpun, termasuk di waktu yang tidak kita duga. Seperti sore ini, niat hati ingin mengutuki tugas perkuliahan sambil menikmati hujan ternyata malah mengingatkanku untuk kembali memikirkan dan menggenggam kembali impian yang pernah aku sengaja hempaskan.

“Itu kan cita-citaku, impianku, kenapa harus kalian tertawakan?” Kata Hanif.

Sambil menggenggam pisang goreng, Reyhan menjawab, “Karena impian kamu itu aneh. Kalo mau jadi atasan tentara ya harus masuk tentara bukan jadi presiden. Ya kan bang?”

“Enggak ada yang aneh soal cita-cita atau impian, kalian boleh jadi apapun di dunia ini asal jangan jadi orang jahat,” Kataku setelah menyeruput cokelat panas.

“Kalo abang, dulu cita-citanya apa? Tentara? Atau presiden juga kaya saya?”

Mendengar pertanyaan Hanif, aku melihat ekspresi mereka sangat antusias. Mereka ingin mendengar apa cita-citaku kala aku seusia mereka, apa impianku kala itu. Padahal sudah lama sejak keinginanku menjadi tentara dan bersekolah di Taruna Nusantara di tentang oleh ibuku, aku sudah tidak memiliki atau memikirkan cita-cita dan impian. Aku hanya menjalani kehidupan ini sebagaimana mestinya, tidak ada lagi api yang berkobar untuk menghidupi kehidupanku, yang menjadi alasan terkuatku untuk terus merasa hidup. Tapi sore ini, mereka seperti memantik api itu agar hidup kembali.

“Tentara, seperti kalian.” Aku tersenyum.

“Tapi kenapa abang malah kuliah?” Reyhan menyela.

“Kan beres kuliah ada pendaftaran buat masuk tentara lagi, abang minta doanya ya supaya ada kesempatan dan bisa lolos.”

Mereka semua mengangguk meski jelas terlihat dari ekspresinya, mereka heran sekaligus terkejut. Mereka mendapat informasi baru, ternyata untuk menjadi tentara bisa kuliah terlebih dahulu.

Aku sadar dengan apa yang aku ucapkan, karena itulah aku memaki diri ku sendiri.

“Apa-apaan ini, aku sedang bicara kemustahilan kepada mereka yang belum mengetahui bahwa kemustahilan dan kegagalan itu ada.” Tapi bagaimanapun, mereka telah berhasil untuk coba memantik api yang pernah padam dalam diriku.

“Kalian harus genggam erat-erat cita-cita dan impian kalian itu ya. Kalian harus semangat mewujudkan cita-cita dan impian kalian itu, ingat bahwa siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan dapat, man jadda wa jadda…” Mereka sangat antusias mendengarkannya.

“…habiskan yaa, besok sore kalau enggak hujan, kita lari jam empat sore, keliling komplek sambil meriksa wilayah kita,” Sambungku.

Mereka semua bersorak kegirangan. Inilah salah satu alasanku menyukai hujan, selain dapat menunda kepergian, kadang hujan membawa kebahagiaan. Sore ini hujan mengirim anak-anak untuk kembali mengingatkan aku kepada hal yang aku impikan, hal yang aku cita-citakan. Impian dan cita-cita yang dengan terpaksa harus aku hempaskan sore ini kembali anak-anak itu berikan. Anak-anak itu telah berhasil memantik sedikit api, biar aku yang pastikan api itu makin menyala dan tidak padam kembali. Bukankah hanya dengan menggenggam impian kita bisa merasa hidup?

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments