Sun, 24 November 2024

Mengusut Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Melalui Diskusi Publik

Reporter: Ulfah Dalilah | Redaktur: Muhammad Fauzan P | Dibaca 469 kali

Fri, 5 April 2019
Student Center
Suasana diskusi yang di gelar oleh Hima Jurnalistik di Aula

JURNALPOSMEDIA.COM—Bidang Nalar dan Intelektual Hima Jurnalistik menggelar diskusi Stop Pelecehan Seksual di Dunia Pendidikan dengan mengusung tema ‘Sudahkan Kampus Kita Aman ?’. Hadir pula Pemimpin Redaksi Suaka, Elsa Yuliandri, Women Study Centre (WSC), Dian Pramesti dan dari Rumah Diskusi, Diana di Aula SC Lantai 1 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Kamis (04/04/2019) malam.

“Bentuk pelecehan dimulai dari verbal dan pelecehan fisik, menurut riset data suaka pada tabloid,” ungkap pemimpin redaksi Suaka, Elsa Yuliandri saat memulai diskusi.

Pemberitaan mengenai pelecehan seksual pertama kali dibahas oleh suaka dan sempat beberapa kali dibahas oleh media besar Indonesia. Setelah UIN Bandung baru saja mendapatkan Akreditasi A, terbitlah berita dari BBC tentang pelecehan seksual yang terjadi dikampus hijau.

Elsa Yuliandri mengatakan bahwa tidak adanya kerjasama antara Suaka dengan BBC dalam bentuk penanggalan keluarnya berita. Keluarnya akreditasi dan berita bersamaaan hanya sebuah kebetulan.

“Saya berharap dengan munculnya berita dari BBC menjadi sebuah tamparan kampus untuk bisa benar-benar menindak lanjuti kasus pelecehan seksual dikampus ini,” katanya.

Penanggung Jawab Women Study Centre (WSC), Dian Pramesti angkat bicara mengenai masalah dugaan pelecehan seksual dikampus. Teknis pengaduan WSC, yaitu dengan membuka bilik pengaduan sebanyak-banyaknya. Bekerja sama dengan Suaka dan Dema-U. Hal tersebut sebagai wadah dan ruang bagi mahasiswa untuk memberikan aduan yang terkait pengalaman
korban kekerasan seksual.

WSC menangani kasus ini dengan berbasis rujukan. Lalu melakukan dialog dengan korban dan akhirnya WSC menganalisis masalah tersebut. WSC pun melakukan advokasi melalui UIN. Universitas memiliki tim khusus untuk mengatasi kekerasan seksual.

Tim tersebut yaitu Tim Pemeriksaan Dugaan Pelanggaran Kode Etik atau yang lebih dikenal dengan tim investigasi. Namun tidak adanya komunikasi oleh tim tersebut dengan wsc dalam perumusan maupun penanganan kasus dugaan pelecehan seksual.

“Saat ini kita sebaiknya tidak fokus hanya masalah kepada dosen saja. Tetapi semua oknum cabul dikampus perlu diusut,” katanya.

Lebih lanjut, data yang diterima WSC dari tahun 2017-2019 sudah terdapat 13 kasus. 2 kasus terjadi di ranah keluarga dan 11 kasus di ranah kampus. 11 kasus di kampus tersebut melibatkan 4 dosen terduga dan 9 mahasiswa terduga pelaku perihal senior dan junior dalam organisasi (Hirarki).

Perwakilan Rumah Diskusi, Diana, mengatakan, menurutnya pelecehan seksual tidak jauh dari racun- racun patriarki. Adanya perbedaan antara hubungan relasi antar gender. Dimana sistem patiriarki yang sudah dari dulu menjadikan perempuan berada pada posisi lemah dan direndahkan oleh laki-laki yang lebih tingi.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual. Di antaranya minimnya kesadaran kekerasan seksual di kampus, moralitas agama dan masyarakat di dunia kampus serta relasi kuasa yang lebih. Selain itu ketimpangan relasi antara dosen dan mahasiswa, terdapat modus-modus akademik dengan dosen berperan sebagai superior terhadap mahasiswinya menjadi faktor terjadinya kekerasan seksual di kampus.

Lebih lanjut, Diana mengatakan untuk meminimalisir mengatasi masalah ini dengan bentuk pola pikir yang sehat. Adanya edukasi seks sejak sedini mungkin. Diperlukan juga sinergi dari organisasi mahasiswa serta HMJ yang merupakan ujung tombak.

“Berharap kawan-kawan semua dapat terbuka pikirannya dan ikut mendukung aksi agar si korban bisa percaya diri dan dapat menjalani hidupnya tanpa mempunyai beban,” tutupnya.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments