Thu, 12 December 2024

Hari Pers Nasional dan Problematika Pers Kampus

Reporter: Reival Akbar Rivawan | Redaktur: Anggi Muliawati | Dibaca 618 kali

Sat, 9 February 2019
Ilustrasi oleh Abdul Latief/Jurnalposmedia

JURNALPOSMEDIA.COM–Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap 9 Februari, yang dilaksanakan secara bergantian di Ibukota Provinsi yang ada di Indonesia. HPN ditetapkan bersamaan dengan hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berdiri pada 9 Februari 1946 di Solo, Jawa Tengah.

Berawal pada keputusan Kongres ke-28 PWI tahun 1978 di Padang, Sumatera Barat, yang menghendaki adanya satu hari untuk memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional.Kehendak tersebut disetujui dalam sidang Dewan Pers ke-21 di Bandung, pada 19 Februari 1981 untuk disampaikan kepada pemerintah.

Empat tahun kemudian, akhirnya HPN pun ditetapkan oleh Soeharto melalui Keputusan Presiden No 5 Tahun 1985.

Kebebasan Pers

Era Orde Baru yang sentralistik pun mengontrol kebebasan pers dan masih memberlakukan berbagai pembredelan. Bahkan melalui pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), tak hanya melarang penerbitan pemberitaannya tetapi juga menutup perusahaan persnya, sehingga banyak wartawan dan karyawan di perusahaan pers kehilangan pekerjaannya.

Seiring dengan era reformasi, keberadaan Dewan Pers menjadi organisasi independen berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak era itu, pendirian pers juga tak lagi membutuhkan SIUPP, di mana sebelumnya SIUPP menjadi persyaratan mutlak yang diberlakukan  pada masa pemerintahan Orde Baru melalui Peraturan Menteri Penerangan No 1 Tahun 1984.

Dewan Pers menegaskan bahwa perusahaan pers tidak boleh menggunakan kebebasannya untuk bertindak seenaknya saja. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU 40/1999 tentang Pers, wartawan adalah profesi yang memiliki dan harus menaati Kode Etik Jurnalistik.

Dewan Pers menyatakan perusahaan pers profesional harus menjalankan dan menghasilkan jurnalisme profesional, sekaligus menjadi penegak Pilar Demokrasi yang menjunjung tinggi kemerdekaan pers.

Namun masih banyak yang melupakan empat elemen pers, yakni penegakan kode etik jurnalistik pada seluruh kegiatan jurnalistik, kepatuhan pada standar perusahaan pers, standar perlindungan wartawan, dan standar kompetensi wartawan.

Pada akhirnya, kemerdekaan pers dan kecepatan laju digital saat ini patut kita syukuri, hal ini merupakan sarana hakiki setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna meningkatkan dan mengembangkan mutu kehidupan dan penghidupan manusia.

Kebebasan pers memang bukan lagi persoalan, namun sampai kapan pun pers tetaplah harus menjadi alat perjuangan. Jika dahulu pers berperan dalam menyatukan bangsa menentang penjajahan, maka hari ini pers harus berhadapan dengan dirinya sendiri dalam menahan lajunya, berkomitmen penuh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menegakkan kebenaran demi hadirnya persatuan.

Pers zaman now adalah pengawal demokrasi dan pembangunan. Apa yang pers sajikan, sudah tentu akan mempengaruhi masyarakat luas. Jangan sampai pers hanyut dalam sajian pemberitaan yang justru menguatkan apa yang menjadi efek negatif dari revolusi digital dan menopang cacatnya demokrasi (flaw democracy). Untuk itu juga menjadi penting agar pers tak terkungkung dalam kepentingan yang sempit dan menjadi alat propaganda.

Hingga kini kebebasan pers benar-benar dinikmati oleh pers nasional, membuat Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang menerapkan kemerdekaan pers yang sangat baik. Sebagai industri, persaingan pers merebut pasar di Tanah Air membuat sebagian pers mati secara alami, sebagian lain justru membentuk korporasi dengan kekuatan modal besar, dan sebagian lagi membentuk jaringan kelompok media. Namun, perkembangan teknologi informasi digital tak kuasa dibendung, memaksa pers merubah format ke bentuk yang multiplatform untuk memanjakan publik dalam kemudahan mengaksesnya.

Apa Kabar Pers Kampus?

Dalam UU Pers No 40 Tahun 1999, pers berarti lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Kegiatan itu meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Namun, hakikat dari pers yang sebenarnya adalah menyampaikan informasi. Mahasiswa yang katanya sebagai agen perubahan, seharusnya dapat menyampaikan pendapatnya kepada khalayak, baik itu sebagai jurnalis maupun non jurnalis, di mana mereka tetap dapat menulis dan mempublikasikannya sendiri entah itu melalui blog atau media lain.

Seperti yang telah diketahui, pers yang dulu bukanlah yang sekarang. Pers yang dulunya dikekang sekarang dibebaskan. Semua berhak berpendapat. Semua berhak untuk bicara. Tapi mengapa masih banyak mahasiswa yang segan untuk mengungkapkan pendapatnya?

Pers mahasiswa berbeda dengan pers pada umumnya. Sebagai media alternatif, pada masa orde baru pers mahasiswa menjadi bagian yang integral dengan gerakan mahasiswa. Ketika represi pemerintah terhadap pers umum sangat kencang, pers mahasiswa menjadi opsi untuk mengkritisi pemerintah. Tidak luput, akhirnya mereka juga diberedel.

Ketika reformasi lahir, pers mahasiswa semakin tersingkirkan dari tempatnya karena kalah bersaing dengan pers umum yang semakin bertambah banyak. Pers mahasiswa juga kehilangan musuh alaminya, pemerintahan orde baru yang represif. Akhirnya, pers mahasiswa juga semakin terlokalisir di dalam kampus.

Agenda rekontekstualisasi pers mahasiswa pada era reformasi menuntut pers mahasiswa untuk menjadi lebih profesional, tanpa harus kehilangan daya kritisnya. Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers yang lahir pada transisi reformasi tersebut seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan pers mahasiswa dan melindunginya.

Kritis agaknya memang menjadi kata yang mengerikan bagi para birokrat, penguasa di negara ini. Wajar sebetulnya, sebab bagaimana pun penguasa tidak suka diganggu apalagi sampai mengancam kekuasaanya. Di masa Orde Baru, segala hal berbau kritis nyaris tak boleh hidup. Mengkritik pemerintah sama saja mencari mati.

Pada saat yang bersamaan, kampus tidak hanya takut pada mahasiswa yang kritis, tapi juga pada organisasi masyarakat intoleran yang kerap membubarkan diskusi. Bukannya melindungi mahasiswa yang ingin mengasah sikap kritis dengan berdiskusi, dalam beberapa kesempatan kampus memilih membubarkan diskusi.

Sebagaimana lembaga pers pada umumnya, pers mahasiswa juga memiliki peran yang sama untuk menjadi kontrol terhadap pejabat dan pengelola kampus. Pers mahasiswa juga menjadi salah satu pilar tegaknya demokrasi di kampus. Pembungkaman menjadi pertanda kemunduran demokrasi. Sebuah pertanda yang buruk untuk Indonesia.

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika Universitas Negeri Jakarta yang dirusak kantor redaksinya (2013), LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta yang diberedel oleh rektornya (2014), serta yang terbaru adalah LPM Lentera Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang diberedel pihak rektor dan Polres Salatiga (2015), merupakan contoh-contoh kasus pemberangusan kebebasan berkarya jurnalistik, yang terbaru pemanggilan polisi terhadap Citra Maudi dan Thovan Sugandi yang merupakan kru Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gajah Mada terkait dengan kasus kekerasan seksual yang mereka angkat di akhir 2018.

Pers Mahasiswa di tengah Ketidakpastian Hukum

Dibebaskan tanpa dilindungi sama saja dijerumuskan. Status pers mahasiswa yang bukan perusahaan pers berbadan hukum membuat persma (Pers Mahasiswa) tidak terlindungi secara utuh. Karena pers mahasiswa tidak berbadan hukum secara mandiri membuatnya bergantung kepada badan hukum milik perguruan tinggi tempat persma itu berada.

Sehingga, pers mahasiswa masih dianggap sebagai tanggung jawab perguruan tinggi tersebut. Karena merasa pers mahasiswa berada di bawah komandonya, pimpinan kampus sering berbuat sewenang-wenang bila hasil karya jurnalistik tak sesuai dengan keinginan mereka.

Kesewenangan itu misalnya tampak dari pimpinan kampus yang sering kali melakukan praktik penyensoran kepada pers mahasiswanya. Hasil reportase atau artikel dari pers mahasiswa tersebut harus dibaca dan diperiksa terlebih dahulu oleh dekanat atau rektorat kampus sebelum terbit. Praktik tersebut dilakukan agar pemberitaan sesuai dengan visi perguruan tinggi tersebut. Jika demikian, redaksi pers mahasiswa harus dipertanyakan independensinya.

Sementara di Peraturan Dewan Pers mengenai kode etik jurnalistik menjelaskan bahwa wartawan Indonesia harus bersikap independen, atau memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk perusahaan pers.

Selain penyensoran, pers mahasiswa masih rentan terhadap pembekuan anggaran. Jika mengeluarkan berita-berita yang sarat muatan kritik, gelontoran dana dikurangi, ditangguhkan bahkan dihentikan. Tidak hanya itu, wartawan kampus pun dibedakan dengan wartawan profesional, mungkin karena pemberitaan persma dianggap tidak berpengaruh atau tidak percayanya dengan tata kerja persma.

Lemahnya status diperparah dengan kenyataan bahwa tidak semua elemen masyarakat mengerti kebebasan pers secara utuh. Bahkan, bagi mereka yang mengerti UU No 40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik Dewan Pers sekalipun, persma tetap dipandang kecil. Ujungnya, jika terasa merugikan suatu pihak, mereka akan diintimidasi, diberedel, bahkan diserang secara fisik. Hak jawab dan hak koreksi tidak begitu membumi dalam kasus ini.

Surat tanda legalitas formal yang saat ini digunakan untuk berlindung hanyalah SK Rektor atau SK Dekan. Artinya, persma tidak memenuhi syarat diakuinya pers, di mana harus adanya perusahaan pers berbadan hukum.

UU Pers memang tidak memberikan kepastian perlindungan terhadap persma. Dalam Pasal 18 ayat 1 UU Pers, perlindungan yang disebutkan hanyalah diperuntukkan bagi perusahaan pers. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU Pers, perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.

Sampai saat ini persma mengacu pada UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam menunaikan kerja-kerja jurnalistik. Kondisi demikian membuat pers mahasiswa menjadi begitu rentan. Walaupun ada UU Keterbukaan Informasi Publik, dalam pengalaman penulis, seringkali narasumber seperti birokrat kampus tetap enggan memberikan informasi. Bahkan tak jarang niat baik tersebut dibalikkan dengan intimidasi, seperti ancaman pengurangan dana kemahasiswaan atau pengusiran dengan tidak patut dari ruangan.

Angin segar sempat datang ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan pengujian Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan putusan hukum PN Tangerang terhadap kasus Prita Mulyasari. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan bahwa terdapat pengecualian atas pasal 27 ayat 3 jika tindakan tersebut dimaksudkan untuk membela kepentingan umum atau membela diri. Misalnya, jika seseorang melakukan kritik terhadap pejabat berwenang atas kebijakan yang ternyata merugikan masyarakat.

Namun faktanya, dalam berbagai kasus yang terjadi pada persma, pihak pelapor enggan menggunakan penyelesaian sebagaimana yang ada dalam UU Pers. Mereka beralasan bahwa pers mahasiswa belum berbadan hukum dan terverifikasi di Dewan Pers, serta wartawannya belum terakreditasi sebagai wartawan profesional.

Pers Mahasiswa di Masa Depan

Teknologi informasi berkembang sedemikian pesat dan telah memberikan dampak perubahan gaya hidup yang luar biasa. Transparansi menjadi alat ukur di mana-mana. Perubahan adalah keniscayaan dan menjadi tuntutan sulit untuk dielakkan.

Pers mahasiswa mau tak mau harus segera bersikap. Hendak ke mana mereka melangkah? Jika pers mahasiswa hanya terjebak dikelola sebagai alat pergerakan, ditakutkan pers mahasiswa tidak mampu menangkap tanda-tanda zaman. Namun, tak serta merta kekuatan dan nilai pergerakan yang dimiliki pers mahasiswa harus dihapus sama-sekali. Saya tidak menyarankan itu terjadi karena merupakan penyikapan yang ahistoris.

Yang mungkin lebih pas adalah dengan mengelola aset-aset yang dimiliki dan mengadaptasikannya dengan perubahan lingkungan (pasar, teknologi, produksi, dan lain-lain) agar eksistensi pers mahasiswa masih tetap berkibar, sekaligus memperoleh positioning yang tepat di mata konstituennya. Sekali terlambat dilakukan, pers mahasiswa akan menjelma sebagai fosil Dinosaurus. Tinggal kenangan. Inikah yang dikehendaki  

Ukuran sebuah produk jurnalistik seharusnya tidak ditentukan dari ada atau tidaknya badan hukum, tetapi dari aktivitas yang dilakukannya. Jika seseorang atau kelompok mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi secara teratur melalui media tertentu, itu adalah aktivitas jurnalistik. Dan sudah seharusnya menjadi bagian dari pers nasional. Tidak boleh tidak. Sayangnya, “setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia,” di mana tertulis dalam Pasal 9 UU No 40/1999 tentang Pers. Artinya, setiap aktivitas jurnalistik yang tidak berbadan hukum bukanlah pers, termasuk dalam hal ini adalah pers mahasiswa.

Penulis adalah Presiden Mahasiswa Jurnalistik 2018/2019

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments