Wed, 11 December 2024

A.H. Nasution, Jendral yang Selamat dari Peristiwa G30S PKI

Reporter: Muhammad Rizky Pratama | Redaktur: Suryadi | Dibaca 730 kali

Thu, 30 September 2021
Jendral A.H. Nasution
Ilustrasi: Dini Putriani Rahman/Jurnalposmedia

JURNALPOSMEDIA.COM – Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau yang dikenal dengan G30S PKI menjadi peristiwa kelam yang pernah terjadi di Indonesia. Gerakan yang bertujuan menggulingkan kekuasaan dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis ini terjadi pada 30 September 1965 sampai 1 Oktober 1965.

Enam jenderal dan satu perwira TNI Angkatan Darat menjadi korban pembunuhan sadis pada peristiwa G30S PKI. Hingga akhirnya pada 5 Oktober 1965, mereka ditetapkan sebagai pahlawan revolusi. Nama-nama tersebut di antaranya:

  1. Jenderal Ahmad Yani
  2. Mayjen R. Suprapto
  3. Mayjen M.T. Haryono
  4. Mayjen S. Parman
  5. Brigjen D.I. Panjaitan
  6. Brigjen Sutoyo
  7. Lettu Pierre A. Tendean

Dalam peristiwa berdarah ini, panglima TNI Abdul Haris Nasution yang sebenarnya menjadi target utama pasukan Cakrabirawa, berhasil melarikan diri. Ia berhasil memanjat tembok Kedutaan Besar Irak yang berada di samping kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Barat.

Dalam peristiwa ini, A.H. Nasution harus kehilangan putrinya, Ade Irma Suryani Nasution. Tak hanya itu, seorang perwira sekaligus ajudannya, Lettu Pierre A. Tendean juga harus gugur akibat kekejaman PKI.

Sosok Penting Penyelamat Jendral A.H Nasution
1. Johanna Sunarti

Istri A.H. Nasution, Johanna Sunarti sangat berjasa dalam membantu suaminya untuk melarikan diri dari pasukan Cakrabirawa pada peristiwa G30S PKI. Johanna adalah sosok yang kuat dan sangat berani menghadapi pasukan Cakrabirawa. Hal itu yang dikatakan oleh putri sulung A.H. Nasution, Hendrianti Sahara Nasution, dalam tayangan YouTube Talk Show tvOne, Senin (30/9/2019).

Hendrianti menjelaskan, karena melihat situasi politik saat itu, Johanna sudah memiliki firasat bahwa ada orang yang akan membunuh A.H. Nasution. Benar saja, pasukan Cakrabirawa yang dipimpin oleh Lettu Dul Arief menyerang kediaman A.H. Nasution pada pukul 03.30 WIB. Seketika itu Johanna menutup dan menahan pintu, namun pasukan Cakrabirawa terus menyerang dengan tembakan.

Perjuangan Johanna berhasil mengulur waktu hingga akhirnya A.H. Nasution melarikan diri dari serangan pasukan Cakrabirawa. Namun, anak bungsu A.H. Nasution, Ade Irma Suryani Nasution, menjadi korban penyerangan mengerikan tersebut. Johanna harus menggendong Ade Irma yang berlumuran darah dan mencoba menelepon Mayjen Umar Wirahadikusuma.

Hendrianti menceritakan, bahwa usaha itu pun gagal karena saluran telpon sudah diputus. Di ruang makan, Johanna yang masih menggendong Ade Irma sempat bertemu dengan pasukan Cakrabirawa, mereka menanyakan keberadaan A.H. Nasution. Kemudian Johanna menjawab dengan penuh keberanian.

“Mama jawab, Pak Nasution sudah dua hari tidak di rumah, kamu ke sini hanya membunuh anak saya,” ujar Hendrianti.

2. Lettu Pierre A. Tendean

Lettu Pierre A. Tendean sebenarnya tidak menjadi target penculikan dan pembunuhan oleh PKI, karena target sebenarnya Jendral A.H. Nasution. Hendrianti menceritakan, Pierre menghadapi pasukan Cakrabirawa tanpa menggunakan seragam militer, dan mengaku bahwa ia adalah A.H. Nasution. Hingga akhirnya Pierre dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur bersama dengan para jendral lainnya.

A.H. Nasution Setelah Kejadian

Setelah dirasa situasi sudah aman, A.H. Nasution kembali kerumahnya sekitar pukul 06.00 WIB dalam keadaan patah pergelakan kaki. Lalu ia mengirim pesan pada Soeharto yang telah mengambil alih komando TNI Angkatan Darat, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup.

A.H. Nasution kemudian meminta Soeharto untuk segera mengamankan kota dari G30S PKI. Soeharto dibantu pasukan yang dipimpin oleh Sarwo Edhie Wibowo berhasil mengamankan Jakarta. Selain itu, prajurit angkatan laut dan polisi ikut membantu dalam menumpas G30S PKI.

Pada 2 Oktober 1965, Halim yang sebelumnya dikuasai oleh pasukan G30S PKI berhasil diambil alih dan G30S PKI sudah dikalahkan. Kemudian pasukan pemerintah berhasil menemukan lokasi jenazah para pahlawan revolusi di sumur tua yang disebut Lubang Buaya.

Pada 4 Oktober 1965, dilakukan pengangkatan jenazah untuk kemudian besoknya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments