JURNALPOSMEDIA.COM–Rancangan Undang–Undang (RUU) Permusikan menjadi salah satu perbincangan hangat dalam sepekan terakhir. Selain menimbulkan keresahan, RUU Permusikan dinilai tidak relevan dan membatasi kreativitas para musisi. Sehingga, banyak musisi ternama menolak keras RUU Permusikan.
Permasalahan RUU ini terletak pada beberapa pasal yang dinilai sebagai “Pasal Karet”. Adapun beberapa pasal yang disinggung, diantaranya pasal 4,5,18,19,32,42,50. Misalnya pasal 18 yang berbunyi “Pertunjukan musik harus melibatkan promotor musik dan/atau penyelenggara acara musik yang memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan musik sesuai dengan peraturan perundang–undangan.”
Pasal tersebut memiliki resiko tinggi karena sangat membatasi mahasiswa, masyarakat bahkan para musisi yang ingin mengadakan pertunjukan musik secara independen. Sebagai contoh, mahasiswa harus mengundang Event Organizer (EO) atau promotor yang berlisensi jika ingin mengundang musisi atau artis ternama, sehingga mahasiswa dibatasi kreativitasnya dan tidak dapat menyelenggarakan pertunjukan musik secara mandiri.
Lalu, pada pasal 5 berisi “Musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum, membuat konten pornografi, memprovokasi pertentangan antarkelompok, menodai agama, membawa pengaruh negatif budaya asing dan merendahkan harkat serta martabat manusia.”
Dalam pasal tersebut secara tidak langsung para musisi “diatur” kebebasan kreativitas dan ekspresinya. Selain itu, para musisi seakan–akan dipaksa untuk bermusik tidak keluar dari batas yang terdapat pada pasal tersebut.
Meskipun pasal ini memang bertujuan baik isinya, namun ini sangat membatasi kreativitas dan kebebasan berekspresi para musisi dalam menghasilkan karya-karyanya. Maka dari itu, bukan tanpa alasan mengapa harus menolak RUU Permusikan, bukan hanya sekadar ikut–ikutan masyarakat umum atau para musisi yang sudah menolaknya.