Wed, 11 December 2024

Myanmar Terbakar Dalam Ilusi Demokrasi

Reporter: M. Wisnusyah | Redaktur: Intan Riskina Ichsan | Dibaca 508 kali

Sat, 20 March 2021
UIN Bandung
Ilustrasi: M. Wisnusyah

JURNALPOSMEDIA.COM – Kekuasaan militer di Myanmar telah menyatakan ketidaktertarikan mereka untuk berkecimpung dalam dunia politik sejak 2010 lalu. Kemenangan partai National League for Democracy (NLD) pada pemilu 2020 lalu berujung dengan penangkapan pemimpin partai Aung San Suu Kyi dan beberapa anggota parlemennya.

Penyebab Kudeta

Kudeta militer yang saat ini berlangsung merupakan sebuah tindak lanjut dari permintaan partai solidaritas dan pembangunan (USDP) yang merasa telah terjadinya kecurangan pemilu. Hasil pemilu menunjukan partai NLD menang telak dengan memenangkan 346 kursi di parlemen. Jauh dari hasil partai USDP yang hanya mendapatkan 21 kursi.

Tuduhan pihak militer terhadap kecurangan tersebut ditepis oleh Komisi Pemilihan Umum yang dibentuk oleh pemerintahan sipil. Tidak puas dengan keputusan tersebut, kekuatan militer yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing menyatakan kudeta dan mengklaim kepemimpinan pemerintahan selama 1 tahun. Tidak lain untuk merombak Pasal No. 417 dan membenarkan kudeta Min Aung Hlaing.

Masyarakat Myanmar tidak hanya diam dan menerima kudeta militer yang mengancam hak demokrasi mereka. Protes telah berlangsung sejak Februari lalu. Kudeta yang menjadi sebuah ancaman yang melibatkan nasib masyarakat yang masih mendambakan demokrasi yang sesungguhnya.

Menghadapi unjuk rasa tersebut, pihak militer tidak ragu untuk menggunakan kekerasan. Mengutip dari BBC, hingga kini korban jiwa dari pihak warga sipil sudah menyentuh angka 128 orang.

Kekuatan Militer

Myanmar mempunyai sejarah yang kelam dari segi militer. Sejak memerdekakan diri dari kekuasaan Inggris pada 1948, Myanmar tidak mempunyai bekal untuk membentuk pemerintahan yang kuat dan bersatu. Ini disebabkan oleh pembagian wilayah ketika dijajah oleh Inggris dan akhirnya kekuasaan pun diambil alih oleh pihak militer.

Pihak militer Myanmar memang tidak mempunyai reputasi yang baik di kalangan masyarakat dunia. Pada 2017 lalu pihak militer juga memberikan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap golongan Rohingya. Perlakuan yang melanggar HAM tersebut telah diberi status Genosida oleh berbagai organisasi internasional, pemerintahan negara, dan juga PBB.

Reaksi masyarakat dunia terhadap kejadian ini pun bermacam. Ada yang mengkonsolidasi masyarakat Myanmar untuk tetap tegar. Ada juga yang beranggapan bahwa kejadian ini adalah sebuah karma terhadap masyarakat Myanmar yang mendukung militer saat Ethnic Cleansing 2017 lalu.

Tidak sampai 10 tahun umur demokrasi yang terjadi di Myanmar. Tragedi ini menjadi sebuah buku catatan kelam yang menunjukan bahwa kekuasaan adalah sebuah hal yang selalu menjadi bahan rebutan bagi para pemimpin negara.

Jika kekuasaan diibaratkan dengan kue, berapa banyak kue yang ingin dimakan oleh militer Myanmar? Semua bahkan hingga alasnya sekalipun.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments