JURNALPOSMEDIA- Ibu, adalah wanita terhebat yang pernah ku temui di dunia ini. Ibu membuatku yang terkesan manja menjadi sosok perempuan tangguh dan bertanggungjawab. Ibu selalu mendo’akan yang terbaik untukku dan menyayangiku bahkan ibu selalu mewujudkan apa yang aku inginkan.
Telah dua tahun aku meninggalkan ibuku, aku harus kuliah di Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Aku terpaksa harus meninggalkan ibuku sendirian di Bogor. Selama ini aku rutin mengirimkan sepucuk surat kepada ibuku. Hanya untuk sekedar menyapa atau menanyakan kabarnya, walau pasti jawaban ibu adalah baik-baik saja.
Aku dan ibuku tak bisa lepas dari surat, setiap hal pasti kami tuliskan dalam selembar surat yang kemudian dikirimkan. Entah hal yang terkesan bahagia bahkan hal yang menyedihkan. Seperti saat aku menjuarai karya jurnalistik tingkat mahasiswa di tahun pertama ku kuliah, ibu membalas suratku dengan sumringah. Ibu berkata jika ia bahagia memiliki putri sepertiku.
Namun terkadang aku merasa sedih, aku terkadang teringat sosok ayah dan kakakku yang telah lama berpisah dengan kami. Sejak kecil ayah dan ibuku memutuskan untuk berpisah. Ibu memilih membawaku sedangkan ayah membawa kakakku. Iri rasanya melihat kebahagiaan orang lain dengan keluarga mereka yang lengkap.
Tak dipungkiri, aku sering sakit-sakitan selama aku kuliah di sini. Aku masih belum terbiasa dengan suasana di sini terlebih aku jauh dari kehangatan ibuku. Namun kali ini sakit yang aku rasakan berbeda, aku sering merasakan sakit yang teramat di perutku. Namun aku tak ingin mengabarkan berita ini pada ibuku, terlebih setelah aku tahu bahwa ibu sekarang sedang dirawat di Rumah sakit karena typus.
Beberapa hari aku tak masuk kuliah, teman-temanku pun menyarankanku untuk melakukan cek ulang di Rumah sakit. Satu hari kemudian aku mendapat surat dari ibuku, beliau mengatakan bahwa beliau telah sembuh dari sakitnya dan dapat beraktivitas seperti biasanya. Aku turut senang, namun aku bingung apa aku harus bahagia atau sedih. Aku merasakan keduanya saat ini.
Kemarin adalah hari terburuk dalam hidupku. Ucapan itu masih terngiang jelas dalam telingaku. Entah itu menakutiku atau memang aku yang terbilang berlebihan dalam menyikapinya. Hatiku bagai terhujam belati, denggupannya berhenti saat itu. Bahkan peluhku berlomba untuk menetes di wajahku, wajah dengan tatapan merana kala itu. Saat Dokter mengatakan bahwa aku terserang penyakit kanker hati
Aku sudah tak sanggup membendungnya sendiri. Aku pun tak ingin menjadi pribadi yang lemah saat ini. Aku ingin menggapai cita-citaku menjadi seorang jurnalis. Impian yang aku inginkan sejak aku masih kecil, karena aku bangga ayahku seorang jurnalis.
Entah perasaan apa yang menyelimutiku saat ini, malam ini aku menulis surat untuk ibuku tercinta. Aku ceritakan semua yang terjadi denganku, kecuali penyakitku. Jarang-jarang aku menangis ketika aku menulis surat. Aku mengatakan bahwa aku ingin ibu dan ayahku kembali bersama. Aku ingin mereka mengunjungiku di sini. Aku juga ingin mereka membawakanku kue lumpur kesukaanku. Esoknya aku kirimkam surat tersebut kepada ibuku.
Tuhan menjawab do’aku, ibuku tiba di sini dengan membawakan kue lumpur kesukaanku. Namun tak bersama dengan ayah dan kakakku. Ibu terlihat pucat pasi kala ia datang. Aku sangat khawatir dengan keadaannya. Sudah kuduga sebelumnya, bahwa ibu akan curiga dengan kondisiku yang menjadi sangat kurus sekarang. Dengan tangis di wajahku, aku ceritakan semua pada ibuku. Ibu sangat terpukul mendengar semua itu. Ibu memelukku penuh haru.
Pagi ini aku tersadar sudah berada di sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat peralatan rumah sakit. Tak tertinggal selang infus tertancap di lengan kiriku. Aku merasa pusing sekali dan sakit sekali di bagian perut bawahku. Aku menjerit, kemudian perawat datang kepadaku. Aku setengah sadar kala itu, penglihatanku samar-samar. Terlihat dua orang sedang bercakap-cakap disampingku. Kudengar perlahan isakan tangis ibuku.
Satu bulan berlalu, aku lebih bugar sekarang. Tak merasakan pusing ataupun sakit di bagian perut bawahku. Namun apa aku harus bahagia saat ini? Namun apakah aku harus sedih saat ini? Penyakit yang kutakutkan akan merenggut nyawaku, penyakit yang selalu membuatku gelisah dalam setiap do’aku. Kini malah merenggut nyawa ibuku tercinta. Aku yang awalnya takut akan meninggalkan ibuku sendiri selamanya, kini akulah yang ditinggalkannya selamanya. Apakah aku harus bahagia kehilangan penyakitku sementara ibuku tiada? Ibu adalah malaikat mulia yang pernah kutemui, ia berikan sisa hidupnya untuk anak yang mungkin belum sempat membahagiakannya di sisa usianya. Walau kini aku meminta pada Tuhan untuk mengembalikannya, itu tak mungkin. Yang mungkin kulakukan sekarang adalah berterimakasih pada Tuhan karena telah mengirimkan malaikat-Nya untukku, hamba yang masih penuh kekurangan di hadapan-Nya.
Karya: Santi Agustini