JURNALPOSMEDIA.COM – Dunia pesantren baru-baru ini mengalami kegaduhan di berbagai platform media sosial hingga timbulkan aksi boikot pada salah satu stasiun tv swasta, Trans7.
Hal ini bermula dari salah satu program mereka yaitu Xpose Uncensored pada 13 Oktober lalu dengan judul “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok? Kiainya yang Kaya Raya, Tapi Umatnya yang Kasih Amplop”.
Judul tersebut membuat banyak pihak merasa tersinggung karena dinilai telah mencoreng sejumlah kalangan, terutama kyai dan tokoh agama. Publik menilai, konten tersebut memuat narasi yang provokatif dan tidak memperhatikan etika pemberitaan, sehingga menimbulkan presepsi negatif terhadap Lembaga pendidikan islam tradisional. Akibatnya, muncul gelombang protes di media sosial salah satunya X (Twitter), dengan tagar #BOIKOTTRANS7.
Namun, di sisi lain ada beberapa pihak yang merasa kontra terhadap aksi pemboikotan ini, gelombang ini muncul dengan tagar #bubarkanpesantren. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana isu media dapat bereskalasi menjadi konflik sosial dan kultural antara dua kelompok masyarakat yang memiliki cara pandang berbeda terhadap nilai-nilai keagamaan dan kebebasan berekspresi.
Menurut salah seorang mahasiswa UIN Jurusan Psikologi semester 5, Alisya Revina Putri Pratamiisu, ini seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek keagaamaan, tetapi juga dari sudut pandang etika komunikasi dan budaya. Ia menjelaskan bahwa dalam praktik penyiaran maupun penelitian sosial, ada prisinsip yang disebut informed consent yaitu persetujuan subjek untuk menayangkan atau menggunakan informasi yang bersifat pribadi atau sensitif.
“Seharusnya pihak penyiar terlebih dahulu memastikan apakah video atau konten tersebut memang pantas untuk ditayangkan dan apakah pihak-pihak yang terlibat sudah memberikan izin,” ujar Alisya saat diwawancarai pada Jumat, (24/10/2025).
Di sisi lain pendapat serupa juga disampaikan oleh salah satu orang tua santri di pondok pesantren yang ada di Jawa Barat, Sophie, Ia menilai tayangan Xpose memang menimbulkan kegaduhan, tetapi juga seharusnya menjadi bahan refleksi dan evaluasi bersama.
“Saya tidak membenarkan cara penyampaiannya yang menyinggung, tapi saya juga melihat ada sisi positifnya. Tayangan itu bisa menjadi pengingat bagi kita semua, terutama orang tua santri, untuk memastikan bahwa pesantren tempat anak-anak kami belajar memang berjalan sesuai nilai pendidikan dan syariat Islam,” ungkapnya saat diwawancarai.
Kontroversi tayangan Xpose di Trans7 bukan hanya persoalan tentang satu program televisi, tetapi merupakan refleksi tentang relasi antara media, budaya, dan etika komunikasi di Indonesia. Pandangan dari narasumber menunjukan bahwa penyiaran publik seharusnya dilakukan seharusnya dilakukan dengan memperhatikan nilai budaya dan etika komunikasi.
















