JURNALPOSMEDIA.COM – Kecerdasan Jokowi sebelum lengser memiliki langkah strategis dan taktis untuk membungkam organisasi keagamaan, salah satunya dengan memberikan izin kelola tambang. Jika kita refleksikan lebih mendalam kita tahu betul bahwa organisasi keagamaan memiliki visi, misi, dan kompetensi yang berbasis keagamaan bukan berbasis teknik sipil ataupun tambang. Kalaupun organisasi keagamaan memiliki persoalan mengenai kurangnya pemasukan anggaran, seharusnya ada alternatif lain selain memberikan pengelolaan tambang.
Jika kita melihat salah satu negara di Brunei Darussalam, secara geografis tidak seluas Indonesia, namun Brunei Darussalam bisa menjadi negara yang kaya dan sejahtera. Bahkan, negara ini diberikan julukan sebagai raja terkaya dibandingkan Raja Salman. Hanya berbekal minyak mentah Brunei bisa ‘segila’ ini. Lantas bagaimana dengan Indonesia yang memiliki tambang emas? Andai saja Freeport (Salah satu perusahaan tambang terkemuka di dunia) tidak mengeruknya, tentu kita bisa hidup sejahtera. Jika dibagi, maka masing-masing jiwa akan kebagian 4-5 kilogram emas, setara Rp3 Miliar. Dengan nilai fantastis ini, tidak akan ada protes terhadap pemerintah karena seluruh kebutuhan rakyatnya sudah tercukupi.
Namun sangat disayangkan, menurut Mahfud MD, ternyata Indonesia terikat kontrak yang tidak mengizinkan Freeport dimiliki Indonesia 100%. Kontrak tersebut telah ditandatangani sejak 7 April 1967.
Pada kesempatan ini saya akan menganalisis dampak dari pembungkaman pada organisasi keagamaan, dengan fokus pada dua organisasi yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini memiliki keautentikan dan perbedaan dalam keberagaman umat. Namun, kali ini mereka menunjukkan kesamaan yang cenderung oportunis. Mari kita simak studi kasus dari kedua organisasi keagamaan tersebut.
Mengutip dari cnbcindonesia.com, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan alasan pemerintah memilih untuk memberikan tambang batu bara secara prioritas kepada Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Keagamaan. Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Idris Sihite menegaskan, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang diberikan kepada Ormas Keagamaan hanya untuk tambang batu bara. Alasannya, penambangan tersebut memiliki kemampuan cukup rendah.
“Tidak adil juga kalau dikasih tambang bawah tanah, sesuai dengan kemampuan finansial, sehingga tujuan kepada Ormas tercapai dan data langsung diberikan manfaatnya kepada Masyarakat,” terang Idris dalam Diskusi Publik Ormas dan Masa Depan Tambang di Indonesia bersama Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), Selasa (2/7/2024).
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menerbitkan aturan, Hal tersebut termuat di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemberian secara prioritas tambang kepada Ormas Keagamaan termaktub dalam pasal 83A.
Kelak, tambang yang akan diberikan kepada Ormas Keagamaan merupakan lahan tambang eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). “Tidak buka lahan baru, jadi di wilayah tambang PKP2B,” ungkap Idris.
Menurut Idris, pengelolaan tambang oleh organisasi keagamaan akan diperlakukan sama dengan Badan Usaha (BU) lainnya. Hal ini harus mematuhi good mining practice dan tidak merusak lingkungan. “Tetap kita bina dan diawasi sehingga aspek teknis berjalan dan pola lingkungan sesuai UU,” tutup Idris Sihite. Sampai berita ini diturunkan, baru Nahdlatul Ulama yang menyetujui pemberian secara prioritas pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tambang, sementara Muhammadiyah masih dievaluasi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Ormas keagamaan yang pertama kali menyambut baik terbitnya PP Nomor 25 Tahun 2024 ini, ialah Pengurus Besar NU. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Choli Staquf atau yang biasa dikenal Gus Yahya mengatakan, organisasinya menerima tawaran pemerintah ihwal Izin Usaha Pertambangan (IUP) karena membutuhkan sumber pendanaan baru. Gus Yahya membeberkan alasan organisasinya menerima pemberian izin tambang dari Presiden Joko Widodo, karena PBNU membutuhkan dana untuk membiayai operasional berbagai program dan infrastruktur Nahdlatul Ulama.
Berbeda dengan pandangan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas yang disebut sebagai orang paling keras menolak tawaran izin pengelolaan tambang dari pemerintah. Dikutip dari Koran Tempo edisi 30 Juli 2024 berjudul ‘Malapetaka Tambang Batu Bara’, Busyro mewanti-wanti dan memperingatkan koleganya jangan larut dalam euforia kisah sukses pertambangan. Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Hikmah PP Muhammadiyah juga meminta koleganya agar mengkaji dampak kerusakan lingkungan akibat tambang batu bara.
Namun, suatu hal yang menarik pada Ahad, 28 Juli kemarin, PP Muhammadiyah, memutuskan menerima tawaran izin usaha pertambangan khusus dari pemerintah. Keputusan itu berdasarkan hasil pleno pada 13 Juli lalu, dan Konsolidasi Nasional yang dilangsungkan selama 2 hari sejak 27-28 Juli kemarin. (Tempo/Pribadi Wicaksono2024). Terlebih, bila merujuk pada rapat pleno 13 Juli lalu, hanya ada 3 dari 18 pemimpin pusat yang menolak tawaran konsesi tambang.
Sebelum keputusan menerima tambang diumumkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, badan-badan di dalam organisasi, termasuk badan yang dipimpin oleh Busyro Muqoddas, telah membuat lima rekomendasi agar pengurus pusat berhati-hati dalam mengambil keputusan menerima izin tambang. Pasalnya, pertambangan batu bara berisiko merusak lingkungan, memicu konflik agraria, dan bahkan berpotensi melanggar hak asasi manusia. (SHINTA MAHARANI)
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, keputusan yang diambil Muhammadiyah justru menimbulkan lebih banyak kerugian dari pada keuntungan. Di sisi lain, Fahmy menilai, keputusan Presiden Joko Widodo mengeluarkan izin tambang ormas sebagai bentuk kepentingan politik.
“Saya kira itu lebih syarat politis daripada ekonomi. Barangkali juga untuk membungkam NU dan Muhammadiyah agar tidak terlalu kritis terhadap kebijakan terakhir Jokowi tadi,” imbuhnya.
Sebab, dia melihat dari segi ekonomi, aturan ini sangat tidak layak. Karena yang pertama tambang yang diberikan tambang bekas yang sudah dieksploitasi oleh perusahaan tambang. “Barangkali hanya tinggal sisa-sisanya saja. Kedua jangka waktu yang diberikan kepada ormas itu hanya lima tahun, nah lima tahun bagi tambang itu tidak memadai sama sekali, dia butuh 10-20 tahun,” jelasnya.
Oleh karena itu, dia menilai pemerintah sebenarnya tidak serius untuk memberikan konsesi tambang pada ormas. “Nah dengan kedua hal tadi saya menyimpulkan bahwa sesungguhnya pemerintah tidak serius-serius amat untuk memberikan konsesi tambang tadi pada ormas dan ormasnya saya kira dibohongi dan mau dibohongi,” pungkasnya.
Saya Defar Badruzaman sangat sepakat dengan pandangan objektif dari Pengamat Ekonomi Energi dari UGM, Fahmy Radhi. Berdasarkan ketetapan dan kebijakan pemerintah diantaranya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sangatlah tidak rasional, karena tidak mempertimbangkan dari berbagai aspek kestabilan politik, terutama kemaslahatan umat justru hal ini dapat memberikan kemudharatan terhadap dua organisasi besar di Indonesia ini, sangat disayangkan kedua organisasi tersebut terkena jebakan siasat politik Jokowi sebelum beliau lengser dari kekuasaannya.
Baik secara kelembagaan struktural kedua organisasi tersebut jelas telah menerima tawaran dari pemerintahan Jokowi. Berdasarkan fakta di lapangan tidak semua pihak menerima ketetapan tersebut, hal yang sangat penting dari pada pejabat struktural organisasi adalah grassroots organisasi yang ada di dalamnya sebagai tulang punggung organisasi.
Belasan massa yang tergabung dalam Forum Cik Di Tiro menggelar aksi di depan Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, tempat berlangsungnya konsolidasi nasional PP Muhammadiyah. Mereka menyerukan aksi ‘Desak Muhammadiyah untuk Menolak Konsesi Tambang’.
Bisa kita nilai sendiri, sudah jelas disini yang memiliki kepentingan hanyalah pemangku kekuasaan tanpa memikirkan lebih jauh bagaimana nasib anggota dan masyarakat. Kesepakatan ini hanya sebagian pihak yang jelas mempunyai kepentingan secara oportunis sedangkan pertimbangan Ushul Fiqh tidak dijalankan dengan sebagaimana mestinya.
Solusi dari saya, Kepemimpinan Jokowi hari ini tidak mampu mensejahterakan rakyat secara menyeluruh jika kekayaan alam Indonesia saja masih di rampas. Kalau mampu hari ini negara tidak akan memiliki hutang, negara akan menjadi maju, kemudian rakyat akan sejahtera. Sebaiknya organisasi keagamaan tidak hanya menyepakati kepentingan yang bersifat sementara, tanpa berpikir sustainable mereka telah mencederai hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Seharusnya berpikir bagaimana memajukan negara ini salah satunya dengan mengambil alih hak kekayaan Alam secara utuh 100% ada di tangan Indonesia, saya pasti Indonesia akan menjadi negara yang maju, sayangnya pemangku kebijakan sampai hari ini tidak ada yang mampu untuk melakukan kemaslahatan umat masih dibungkam dengan hal-hal yang berbau duniawi dan masih kalah dengan tangan besi elit global. Makanya jangan heran jika negara kita belum menjadi negara yang sejahtera dan maju.
Sebagai generasi penerus bangsa kita harus lebih hati-hati dalam menyikapi suatu persoalan yang dapat merugikan, mari berikan kontribusi terbaik untuk memajukan negara Indonesia, kita layak untuk berperan!