Sat, 22 February 2025

#TolakKuliahOnline: Ketika Kebijakan Kampus Tak Sejalan dengan Kebutuhan Mahasiswa

Reporter: anggia ananda safitri | Redaktur: KHOIRUNNISA FEBRIANI SOFWAN | Dibaca 113 kali

11 jam yang lalu
(Sumber foto: Suara.com)

Tagar #TolakKuliahOnline ramai digaungkan mahasiswa UIN Bandung buntut penerapan kebijakan perkuliahan daring selama bulan Ramadan menuai polemik di kalangan mahasiswa.

Banyak mahasiswa yang merasa keberatan dengan kebijakan ini, karena dinilai kurang efektif dan membebani mereka dari berbagai aspek. Sejumlah mahasiswa pun menyuarakan penolakan mereka terhadap kuliah online melalui berbagai platform.

Efektivitas Perkuliahan yang Dipertanyakan

Salah satu mahasiswi Jurusan Administrasi Publik angkatan 2023 yang menolak kebijakan ini adalah Winaya Miranda Eka Puteri. Ia menilai kuliah tatap muka jauh lebih efektif dibandingkan dengan kuliah daring.

“Menurut saya, kuliah itu lebih efektif dilakukan secara offline, karena berpengaruh terhadap fokus dan semangat belajar, juga pemahaman terhadap materi yang diberikan. Selain itu, mahasiswa sudah membayar UKT dengan nominal yang sama seperti kuliah tatap muka, sehingga berhak mendapatkan fasilitas kampus,” ujar Winaya.

Senada dengan Winaya, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Siti Fadillatul Romdoni, juga menyampaikan keberatannya. Menurutnya, kuliah online kurang optimal karena banyak faktor yang memengaruhi efektivitasnya.

“Ketika melaksanakan kuliah online,  suasananya berbeda dengan kuliah offline. Pembelajaran menjadi kurang optimal dan kurang efektif, belum lagi kendala sinyal, koneksi internet, dan perangkat yang kurang memadai. Terus juga fokusnya yang terbagi,” ungkapnya.

Dampak Negatif bagi Mahasiswa

Kuliah online tidak hanya berdampak pada pemahaman materi, tetapi juga pada interaksi sosial dan kesehatan mental mahasiswa. Winaya mengungkapkan bahwa dirinya merasa lebih kesepian dan bosan selama perkuliahan daring.

“Mungkin kesepian ya, bosan dan juga tidak produktif. Sebelum kuliah online ini kami sudah libur selama dua bulan, dan dilanjutkan kuliah online selama satu bulan. Masuk masuk sudah UTS, dan materi semuanya diberikan secara online. Tugas banyak saat kuliah itu gak terlalu kerasa karena kita have fun dengan teman-teman, tetapi jika online ya semuanya apa-apa sendiri, jadi pasti kerasa sih stress-nya,” ujarnya.

Siti pun mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, interaksi sosial menjadi sangat terbatas dalam kuliah online, yang berdampak pada kesehatan mental mahasiswa.

“Kalau dalam kesehatan mental sendiri tadi gitu ketika kita memang jadi lebih sedikit begitu interaksi secara langsung dalam bersosialnya kita juga akan merasa suntuk, kita akan merasa bosan, kita akan merasa stress,” katanya.

Ketidakadilan dalam Kebijakan Kampus

Salah satu permasalahan utama yang dikeluhkan mahasiswa adalah ketidakadilan dalam penerapan kuliah online. Mereka merasa bahwa hak mereka sebagai mahasiswa tidak sebanding dengan kewajiban mereka dalam membayar UKT.

“Saya sendiri kontra karena hak saya sebagai mahasiswa tidak sebanding dengan kewajiban saya dalam membayar UKT. Artinya, harusnya saya dapat menggunakan fasilitas-fasilitas kampus secara maksimal, tetapi dengan online ini saya tidak bisa menggunakannya,” tegas Winaya.

Siti pun menambahkan bahwa dari segi biaya, kuliah online lebih membebani mahasiswa.

“Dalam praktik pembelajarannya pun dalam prosesnya kita perlu untuk selalu sedia kuota, yang mana kuota tersebut juga tidak ditanggung oleh kampus atau mungkin di-reimburse dengan pemotongan UKT sekian persen ‘kan tidak juga gitu per mahasiswanya, tapi kita tetap bayar UKT, kuota tetap kita sendiri yang bayar, saya rasa ini cukup membebani begitu. Kalau kita kuliah offline bisa mengandalkan wifi kampus,” ungkapnya.

Harapan Mahasiswa terhadap Kampus

Mahasiswa berharap agar pihak kampus lebih mempertimbangkan aspek-aspek lain sebelum membuat kebijakan yang berpengaruh terhadap perkuliahan. Menurut Siti, salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah model perkuliahan hybrid.

“Bisa aja kuliahnya dilangsungkan secara hybrid begitu. Misalnya dijadwal hari ini bagian daring, besoknya bagian luring. Efektivitas pembelajarannya dinilai akan sedikitnya lebih baik dalam pemahaman materinya pun sedikitnya bisa lebih nempel, lebih optimal pembelajarannya begitu. Kuota pun sedikitnya bisa hemat-hemat lah ya,” usulnya.

Sementara itu, Winaya menegaskan bahwa keputusan yang diambil kampus seharusnya tidak sampai menghilangkan hak mahasiswa.

“Boleh mengambil keputusan, tetapi jangan sampai mahasiswa kehilangan haknya sebagai mahasiswa,” pungkasnya.

Polemik ini menjadi bukti bahwa kebijakan kampus yang tidak mempertimbangkan kondisi mahasiswa dapat menimbulkan keresahan. Para mahasiswa berharap agar suara mereka didengar oleh pihak kampus demi menciptakan sistem perkuliahan yang lebih adil dan efektif.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments