JURNALPOSMEDIA.COM – “Hari ini di mana DPR-RI kembali membahas kembali tentang Omnibus Law setelah proses reses. Semoga hari ini adalah hari baik untuk kita semua,” jelas salah satu penggiat Festival Anti Omnibus Law, Remi Silaban kepada Jurnalposmedia. Sabtu (15/8/2020).
Dikemas berbeda dari biasanya, aksi tersebut digelar tepat di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Bandung. Setidaknya ada beberapa tuntutan dalam festival itu. Di antaranya menolak Omnibus Law, menghadang agenda neoliberalisme, serta menuntut disahkannya RUU PKS.
Lebih lanjut, tuntutan dalam aksi tersebut adalah untuk melawan komersialisasi, mencabut UU Minerba, serta menolak otonomi khusus jilid II di Papua dan Papua Barat. Pun menuntut diberikannya jaminan sosial, kesehatan, dan pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Festival itu dihadiri organisasi mahasiswa, penggiat aksi Kamisan, penggiat perpustakaan jalanan, organisasi pesepeda, dan pencinta lingkungan hidup. Selain orasi, juga diadakan pasar gratis, parade sepeda, turnamen bola antarkolektif, kegiatan musik, dan bagi-bagi makanan gratis.
Dengan konsep berbeda itu, diakui massa aksi festival tersebut bahwa pergerakan mereka terlihat santai. Namun, tetap pada tujuan yang sama, yaitu untuk menggagalkan Omnibus Law.
“Omnibus Law ini adalah pintu masuk untuk memapankan sistem kapitalis dan neoliberalisme. Sehingga, yang kami lawan ini bukan semata-mata Omnibus Law-nya saja tetapi agenda-agenda di balik itu semua. Sejarah telah menunjukkan, hanya kelas pemodal saja yang diperkaya dan tentunya bukan rakyat Indonesia,” tutur Remi yang juga Humas Koalisi Rakyat Sipil Anti Omnibus Law.
Adapun pihak kolektif Ruang Aman Bandung, Michael Kharisma meyuarakan tanggapannya mengenai tujuan pemerintah membuat aturan tersebut. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk deregulasi demi melancarkan arus investasi para investor.
“Omnibus Law dari dua ideologi (kapitalisme dan liberalisme) tersebut sudah jelas-jelas membentuk eksploitasi yang parah baik untuk Sumber Daya Alam ataupun Sumber Daya Manusianya. Omnibus Law yang dibilang untuk memperluas lapangan pekerjaan ini nyatanya bukan dengan cara mempercepat investasi yang masuk,” tuturnnya.
Terbukti pada 2010, kata Michael, banyak investasi yang masuk ke Indonesia namun dengan penyerapan tenaga kerja yang tidak sebanding. Ia mengatakan, bentuk investasi ini lebih bahaya. Hal itu dikarenakan pihak asing dapat dengan mudah mengambil tanah-tanah Indonesia dalam waktu yang sangat panjang.
“Kegiatan ini bukan akhir dari segalanya. Kami akan terus mengawal Omnibus Law sampai pada akhirnya dibatalkan dan tidak adanya lagi pembahasan-pembahasan mengenai hal ini,” tutur salah satu Masyarakat Adat Independen, William. Michael pun berharap agar pemerintah sadar karena aturan itu dinilainya bukanlah solusi untuk membuka lapangan pekerjaan.
“Cukup jadikan sejarah Freeport sebagai pembelajaran. Makmurkan rakyat dan nasionalisasikan tanah-tanah yang ada di Indonesia. Pemerintah harus mengevaluasi kembali tentang asas-asas atau ideologinya dan jangan terjebak oleh pemikiran cacat negara asing. Kalau sampai ini dibiarkan, wassalam Indonesiaku,” pungkas Michael.