JURNALPOSMEDIA.COM – Sudah lebih dari sepuluh bulan dunia digemparkan oleh wabah Covid-19, tak terkecuali di Indonesia.
Wuhan, China adalah salah satu kota di mana wabah Covid-19 ini pertama kali ditemukan. Di Indonesia sendiri pun wabah ini muncul ketika ada kabar bahwa seorang anak dengan ibunya dinyatakan positif Covid-19. Dari situlah wabah ini semakin melonjak, dan tercatat hari demi harinya selalu ada kenaikan jumlah korban yang terpapar wabah Covid-19.
Wabah ini sangat memberikan dampak negatif di sejumlah sektor, misalnya sektor perekonomian dan pendidikan. Hampir semua sektor mengalami dampak dari pandemi ini. Terutama sektor yang bergerak dalam bidang pendidikan.
Yang kita ketahui saat ini Covid-19 masih berdampingan dengan kita. Namun, akankah wabah ini cepat berakhir? Ataukah wabah ini akan selalu berdampingan selamanya dengan kita? Pastinya seluruh masyarakat Indonesia menginginkan wabah ini cepat berakhir, agar mereka semua dapat menjalankan aktivitas dengan biasanya.
Ketika pemberitahuan datang pada Maret, dan menyatakan bahwa sekolah dan universitas ditutup sementara karena wabah Covid-19. Kami, pelajar dan mahasiswa dari seluruh nusantara, mungkin awalnya biasa saja menanggapi hal itu.
Awalnya, kami merasakan senang karena belajar di rumah. Namun seiring berjalannya waktu, baik sekolah maupun universitas tak kunjung memberikan kabar akan dibukanya kembali sistem pembelajaran dengan tatap muka langsung karena kasus positif Covid-19 yang malah terus melonjak.
Dalam kasus pertama yang saya rasakan saat belajar secara online, dan mungkin ini semua dirasakan oleh seluruh pelajar atau mahasiswa di Indonesia yaitu datangnya rasa kejenuhan. Bagaimana tidak, karena setiap pertemuan baik guru maupun dosen selalu memberikan tugasnya langsung tanpa menjelaskannya terlebih dahulu.
Rasanya begitu asing ketika saya sendiripun melihat bagaimana adik saya belajar online, lalu diberikan tugas oleh guru tanpa dijelaskannya terlebih dahulu. Setiap pelajar pasti berbeda-beda cara berpikirnya, ada yang tidak dijelaskan oleh guru mereka paham karena belajar sendiri dan ada juga pelajar ketika dijelaskan tetap saja tidak paham. Oleh karena itu dalam hal ini, guru harus bersikap adil kepada para pelajar.
Dalam kasus kedua, yang banyak dirasakan seluruh pelajar adalah terbatasnya fasilitas teknologi. Memang, saya tidak merasakan keterbatasan teknologi dalam pembelajaran online. Tetapi, bagaimana dengan pelajar lain? Apakah pemerintah menanggung semua alat-alat komunikasi yang mempengaruhi pembelajaran online seperti handphone, laptop ataupun notebook.
Bagi sejumlah pelajar yang telah diberikan fasilitas oleh orang tuanya mungkin beranggapan biasa saja. Namun, ketika saya melihat kebanyakan orang yang tidak mampu untuk mempunyai teknologi tersebut sangat sulit untuk pembelajaran online. Bahkan, karena pandemi ini banyak anak-anak sekolah yang putus di tengah jalan.
Bukankah generasi milenial ini adalah aset berharga bagi bangsa? Lantas jika banyak pelajar yang memutuskan untuk berhenti bersekolah saat pandemi, bagaimana ke depannya pendidikan di Indonesia ini? Dan bagaimana pendidikan Indonesia di mata dunia.
Akankah bangsa Indonesia terus-menerus menempati urutan bawah dalam pendidikan. Atau bangsa Indonesia akan menyamakan kedudukannya dengan negara-negara lainnya. Tentu saja, hal itu dapat tercapai ketika pengajar dan sistem pembelajaran menempati sistem pendidikan 4.0. Di mana guru bukan lagi sebagai narasumber, melainkan sebagai pendamping atau fasilisator dalam membentuk karakter pelajar supaya lebih aktif lagi.
Dalam hal ini, keterbatasan tidak hanya mengenai kurangnya fasilitas teknologi. Namun, pelajar pun terkendala di koneksi jaringan. Sehingga hal itu menghambat proses pembelajaran secara online.
Maka dari itu, menurut pendapat saya untuk mengantisipasi pembelajarannya, pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada sekolah ataupun universitas untuk memberikan batas hari pengayaan pembelajaran secara tatap muka langsung.
Dalam seminggu, biasanya sekolah mengadakan pembelajaran sebanyak lima sampai enam hari kerja. Mungkin, dalam waktu seminggu itu sekolah memberikan kesempatan kepada pelajar untuk belajar secara tatap muka sebanyak dua kali pertemuan dalam seminggu. Jika hal tersebut dilaksanakan sudah pasti pelajar tidak akan merasa jenuh dalam belajar.
Serta tentu, jika sekolah telah menentukan kebijakan yang telah disetujui oleh pemerintah, maka protokol kesehatan tetap harus berjalan saat di sekolah. Misalnya seluruh pelajar wajib menggunakan masker, mengecek suhu tubuh sebelum masuk kelas, membawa bekal dari rumah, menyediakan handsinitizer, berjaga jarak dan memberikan batas waktu dalam proses belajar.
Seperti menerapkan dua kali pertemuan sekolah dengan batasan waktu sebanyak 4 jam. Jika hal ini dapat berjalan, saya rasa akan semakin efektif dalam belajar, tidak ada rasa kejenuhan bagi pelajar, dan tentunya mengurangi permasalahan dalam pendidikan dimasa pandemi ini.