Aku menatap gadis itu lamat-lamat. Di malam seperti ini, gadis itu masih saja berada di luar. Untuk apa pikirku. Aku menerka-nerka bahwa gadis itu adalah anak jalanan yang hanya memiliki rumah yang sangat luas di sebut bumi. Beralaskan tanah yang kadang basah karena hujan. Beratapkan langit yang kadang biru lebih sering kelabu sesuai keadaan hatinya. Sumber cahaya yang ia miliki hanyalah dari benda bulat kuning di siang hari. Jika malam, ia hanya memasrahkan diri kepada alam dan sinar rembulan yang akan menyinarinya malu-malu.
Aku melihatnya sepulang kuliah pukul sepuluh malam. Ia sedang terlelap dengan aman di sebuah bangunan kecil terbuka yang dahulu difungsikan sebagai pos satpam. Semua orang melewatinya. Tetapi semua orang hanya berjalan kemudian melewatinya. Ia memang lusuh. Tapi aku yakin itu lusuh bukan hanya lusuh biasa. Tetapi itu sebuah cerminan bahwa ia telah berjuang melewati kehidupan yang amat keras. Sekeras batu yang sulit dipecahkan kalau kita hanya coba memecahkannya dengan tangan kosong.
Aku berhenti sejenak dan mengeluarkan receh. Barangkali ada sisa uang bekalku untuknya. Aku merogok saku celana. Ada beberapa lembar kertas. Aku menaruhnya ke dalam tas yang ia gunakan untuk menaruh seluruh kekayaannya di dalam situ. Aku rasa ini cukup untuknya makan 2 hari. Aku menaruhnya ke dalam tas bagian depan. Kemudian berbalik dan pergi menjauh.
Aku rasa aku telah menyelamatkan sebongkah nyawa untuk tetap bertahan hidup di kemudian hari. Aku berjalan pulang menuju kos. Itu memerlukan waktu 15 menit dengan berjalan. Atau hanya 5 menit menggunakan sepeda motor. Keadaan kampus telah sepi. Mungkin yang masih ramai hanyalah keheningan dan dingin yang mulai menyergap. Semua mahasiswa harus pulang, karena kampus akan ditutup pada pukul 10 tepat.
Ketika sampai di depan pintu kamar kosku, aku coba mencari kunci. Aku merogoh saku kiriku, tidak ada. Aku beralih ke sisi saku yang lain, pun tak ada. Aku coba mengingat. Aku yakin bahwa benda kecil tanpa gantungan kunci itu aku taruh di dalam saku kiri ini. Persis bersama uang-uang di dalamnya. Oh, ya. Uang. Aku ingat. Mungkin saja aku menjatuhkannya ketika tadi hendak memberi sejumlah uangku kepada pengemis itu. Aku bisa saja menjatuhkannya. Di sana.
Aku kembali ke tempat pengemis tadi yang terlelap. Ditemani gugusan lampu sepanjang jalan yang kian minim penerangannya, aku mempercepat langkah kakiku. Khawatir ia telah pergi dari tempat itu. Aku berjalan dengan terburu-buru. Sesampainya di gerbang kampus, aku harus memanjat pagar yang sudah menutupi sepanjang jalan masuk.
Aku terus bejalan melewati beberapa gedung fakultas. Akhirnya aku sampai di tempat semula pengemis itu tadi. Aku mencoba mendekatinya. Ia masih terlelap dengan keadaan yang sama. Tapi kini posisinya sedikit merungkut dengan jaket hitamnya. Ketika aku benar-benar melihat seluruh keadaanya dengan dekat dan memastikan bahwa ia masih terlelap, aku melihat ceceran darah yang mengelilingi tubuhnya. Ya, aku yakin itu darah. Aku berusaha menjauhinya. Kemudian berteriak. Sejumlah satpam kampus datang.
Kemudian aku menceritakan hal tersebut kepada satpam yang ada. Persis seperti apa yang aku lakukan tadi. Aku pulang kampus pukul sepuluh. Memberi pengemis itu uang. Kemudian pergi. Pulang ke kamar kos tapi aku tidak mendapatkan kunci kosku. Dan mungkin itu tertinggal di dalam tas pengemis karena aku berusaha memasukkan uangku ke dalam tasnya itu.
Aku melihat langit malam itu. langit tampak tenang walaupun seperti ingin bersedih. Sebentar, aku melihat pengemis itu di sebrang pos ini. Ya, itu pengemisnya. ia di sebrang, sudah bugar, dan ia melambaikan tangannya kepadaku. Kemudian tersenyum bahagia. Tidak lama ia kemudian melayang ke atas langit, dan kini aku melihat raut bahagia di mukanya. Karena kini ia tidak perlu susah payah lagi menjalani hidup dan memikirkan untuk bagaimana caranya mencari makan saban hari. Ah, andai saja satpam yang bersamaku bisa melihat juga apa yang aku lihat ini.
Penulis merupakan mahasiswa semester 4 jurusan Sosiologi UIN Bandung