Fri, 26 July 2024

Minimnya Pengajar Al-Qur’an Braille di Indonesia

Reporter: Awliya El Salam Mukhtar | Redaktur: Nazmi Syahida | Dibaca 251 kali

Sat, 15 June 2019
Sejumlah penyandang disabilitas tunanetra mengikuti pelatihan Al-Quran Braille di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), Lembang, Jawa Barat, Jumat, (10/5/2019). Pelatihan ini bertujuan untuk mencetak generasi qurani agar nantinya bisa menjadi pengajar Al-quran Braille. (Awliya El Salam Mukhtar/Jurnalposmedia)

JURNALPOSMEDIA.COM-Jumlah penyandang disabilitas tunatera yang berada di Indonesia terbilang cukup banyak. Terdapat 3.000 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang memiliki kurikulum membaca Al-Qur’an Braile. Tetapi, pengajar Al-Quran Braille di Indonesia terbilang masih sedikit yaitu sebanyak 50 pengajar. Hal tersebut berdampak pada jumlah pembaca Al-Quran Braille di Indonesia. 

Salah satu lembaga pembinaan Al-Quran Braille di kota Bandung, Ketua Ummi Maktum Voice (UMV), Entang mengungkapkan bahwa jumlah disabilitas netra masih sedikit. Yakni, yang mendapatkan pendidikan cara membaca Al-Quran Braille berada di bawah angka 10%. Sementara populasi disabilitas netra mencapai 3,5 juta.

Hal yang sama diungkapkan oleh Pekerja Sosial di Wyata Guna, Yayat Ruhiyat bahwa penyandang disabilitas tunanetra masih sedikit yang mendapatakan kesempatan pelayanan berupa pendidikan atau rehabilitasi sosial. Dari jumlah 2-3 juta penyandang disabilitas tunanetra, baru dibawah 100 ribu yang sudah mendapatkan layanan pendidikan formal maupun rehabilitasi sosial di Indonesia.

Penyebab Minimnya Pembaca Al-Quran Braille

Pengurus Lembaga UMV, Anitya Putri mengungkapkan bahwa percetakan Al-Quran Braille yang minim menjadi penyebab jumlah pembaca. Lalu, masih relatif sedikit di Indonesia, yaitu 10 persen dari 2-3 juta penyandang disabilitas tunanetra.

“Proses dari pencetakan Al-Quran Braille tidak mudah. Di Indonesia sendiri terdapat 3 percetakan Al-Quran Braille, namun yang aktif mencetak Al-Quran braille hanya percetakan di Wyata Guna yang dapat memproduksi 100 set perbulan,” tuturnya, Minggu (26/5/2019).

Lebih Lanjut Anitya mengatakan, percetakan akan berproduksi jika terdapat minimal 60-100 orang yang mengajukan pembuatan Al-Quran Braille. Awalnya, terdapat 6 mesin cetak, namun seiring berjalannya waktu mesin tersebut mengalami kerusakan dan sulit untuk diperbaiki. Hal itu karena mesin berasal dari luar negeri dan kurangnya kemampuan pihak percetakan untuk memperbaiki.

Pemerintah melalui BLBI (Balai Literasi Braille Indonesia) yakni lembaga dibawah Kementerian Sosial membantu dalam pencetakan Al-Quran Braille. Namun, jumlah yang diproduksi hanya mencapai 50 set perbulan. Akibatnya, jumlah pembaca Al-Quran Braille sedikit dan tidak mudah untuk didapat.

Yayat memaparkan beberapa faktor yang menyebabkan minimnya jumlah pembaca Al-Quran Braille. Diantaranya faktor sensorik, yaitu berupa kepekaan terhadap Al-Quran Braille. Kemudian faktor intelektual, yaitu kemampuan untuk memformulasikan rumus-rumus yang terdapat pada Al-Quran Braille itu sendiri.

Menurut Yayat, motivasi yang besar untuk belajar dan cinta terhadap Al-Quran Braille juga menentukan lancar tidaknya proses belajar. Salah satu penyebab lain yakni kecanggihan teknologi yang berkembang pesat. Zaman sekarang banyak yang beralih dari tulisan braille ke teknologi digital, sehingga tulisan braille sulit untuk dikenal. Murid di Wyata Guna yang mengikuti jurusan Al-Quran Braille terdapat 60 orang, dan terdapat 5 pengajar yang dibagi lagi sesuai bidang diantaranya, khitabah, tilawah, tajwid, nahwu sharaf, dan bahasa arab.

Pelatihan Al-Quran Braille Sebagai Solusi

Pada bulan Ramadhan 1440 H, Kementerian Agama (Kemenag) menyelenggarakan pelatihan Al-Quran Braille yang dapat membantu penyandang disabilitas tunanetra memahami dan mempelajari Al-Quran Braille. Pelatihan tersebut diadakan pada 8-12 Mei 2019 di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), Lembang, Jawa Barat. Jumlah peserta yang mengikuti pelatihan tersebut terdapat 32 orang yang sudah menerima wakaf Al-Quran Braille melalui UMV. Peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Jakarta, Bekasi, Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Bandung.

Yayat yang sekaligus yang menjadi Ketua Pelaksana pelatihan Al-Quran Braille, Yayat Ruhiyat mengungkapkan bahwa keberagaman latar belakang pendidikan dan sisi ketunanetraan merupakan kesulitan dalam mengajarkan Al-Quran Braille. Ia pun mengaku bahwa pengajar Al-Quran Braille itu harus memiliki metode yang beragam. Sesuai keberagaman muridnya, sehingga materi yang disampaikan mudah diterima serta pengajar Al-Quran Braille itu harus kaya metode.

“Tujuan pelatihan untuk mempersiapkan guru mengaji Al-Quran Braille dan juga menumbuhkan rasa cinta terhadap Al-Quran. Dengan cinta Al-Quran, diharapkan peserta bisa menjadi generasi Qurani yang dimana ketunanetraan tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk berkiprah, dan juga diharapkan mereka dapat berbagi dan menularkan ilmunya kepada teman-teman di daerahnya masing-masing,” pungkasnya, Jumat, (10/5/2019).

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments