JURNALPOSMEDIA.COM – Bayangkan Anda sedang liburan di Thailand. Ketika akan membayar jajanan, Anda cukup mengeluarkan ponsel, memindai kode QR di warung tersebut dengan aplikasi Bank Indonesia, dan transaksi selesai. Semudah itu. Pembayaran langsung diproses menggunakan Rupiah dan Baht, tanpa perlu menukar uang atau menggunakan kartu kredit.
Kemudahan ini sudah dirasakan jutaan WNI di Malaysia, Thailand, dan Singapura, dan akan segera menyusul di Jepang dan Tiongkok.
Bagi kita, ini adalah kemajuan teknologi yang praktis. Namun di Amerika Serikat, sistem pembayaran yang kita kenal sebagai QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) ini dilihat sebagai masalah. Dikutip dari laman tirto.id bahwa dalam laporan resmi “National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers” tahun 2025, pemerintah AS secara spesifik menyebut QRIS sebagai “hambatan perdagangan digital”.
Bagaimana bisa sebuah kode QR dari Indonesia membuat negara adidaya khawatir? Ini karena QRIS bukan sekadar alat bayar. Ia telah menjadi simbol kemandirian ekonomi digital Indonesia yang mulai mengusik dominasi raksasa keuangan global.
Awal Mula Lahirnya QRIS
Sebelum ada QRIS, dunia pembayaran digital di Indonesia cukup merepotkan. Setiap aplikasi dompet digital seperti GoPay, OVO, atau DANA punya kode QR sendiri-sendiri. Pedagang pun harus memajang banyak kode QR di meja kasir mereka, yang tentu membingungkan pembeli.
Melihat hal ini, Bank Indonesia (BI) turun tangan. Pada 17 Agustus 2019, BI meluncurkan QRIS dengan satu tujuan: menciptakan satu kode QR yang bisa digunakan oleh semua aplikasi pembayaran.
Langkah ini ternyata sangat sukses. Penggunaan QRIS meledak, terutama saat pandemi yang mendorong orang beralih ke transaksi non-tunai. Hingga awal 2025, pengguna QRIS sudah mencapai lebih dari 56 juta orang, dengan puluhan juta pedagang yang sebagian besar adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dilansir dari laman goodstats.id nilai transaksi QRIS mengalami lonjakan pertumbuhan yang drastis, mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.
Bagi Indonesia, QRIS adalah proyek kedaulatan. Tujuannya adalah membuat sistem pembayaran yang efisien, aman, dan bisa dijangkau semua kalangan, terutama UMKM.
Keluhan Resmi dari Amerika
Kesuksesan QRIS inilah yang membuat Amerika Serikat bereaksi. Dalam laporan yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), QRIS dikritik karena dianggap tidak adil.
Dikutip dari laman digitalbank.id Amerika Serikat mengaku keberatan dengan adanya QRIS karena menurutnya kebijakan satu kode QR ini menutup pintu bagi perusahaan pembayaran Amerika seperti Visa dan Mastercard yang ingin menawarkan sistem mereka sendiri di Indonesia. Intinya, AS ingin perusahaannya bisa bersaing bebas tanpa harus mengikuti standar yang dibuat oleh Indonesia.
Tentu saja, Indonesia punya pandangan berbeda. Pemerintah menegaskan bahwa QRIS dibuat untuk kepentingan nasional: membantu UMKM, memudahkan masyarakat, dan memastikan data keuangan penting tetap aman di dalam negeri. Bukannya mundur karena kritik, Indonesia justru semakin gencar memperluas penggunaan QRIS ke negara lain.
Dolar AS Mulai Ditinggalkan
Di balik keluhan soal persaingan dagang, ada kekhawatiran yang lebih besar bagi Amerika, yaitu soal dominasi mata uang mereka.
Selama ini, sebagian besar transaksi internasional menggunakan dolar AS sebagai perantara. Ini membuat dolar sangat kuat dan memberi AS pengaruh besar di panggung dunia. QRIS mengubah aturan main ini. Dengan kerja sama antarnegara, transaksi bisa langsung dilakukan menggunakan mata uang lokal masing-masing (misalnya Rupiah ke Ringgit). Dolar AS sama sekali tidak dilibatkan.
Proses ini adalah bagian dari tren global yang oleh lembaga keuangan seperti J.P. Morgan disebut sebagai “de-dolarisasi”, yaitu upaya mengurangi ketergantungan pada dolar dalam perdagangan dunia. Bagi konsumen, ini artinya biaya transaksi lebih murah. Bagi negara, ini mengurangi risiko dari gejolak nilai tukar dolar.
QRIS mungkin tidak akan meruntuhkan dominasi dolar sendirian. Namun, kesuksesannya menjadi contoh bagi negara-negara lain. Jika banyak negara mengikuti jejak Indonesia, kekuatan dolar sebagai mata uang utama dunia bisa perlahan-lahan terkikis. Inilah yang sesungguhnya membuat Washington khawatir.
Masa Depan Ada di Tangan Negara Berkembang
Indonesia tidak sendirian dalam hal ini. India punya sistem pembayaran Unified Payments Interface (UPI), dan Brazil punya Pix. Keduanya juga sangat sukses. Sebuah laporan dari lembaga riset Atlantic Council menyoroti bagaimana sistem-sistem ini “telah secara signifikan meningkatkan inklusi keuangan, mendukung pertumbuhan sektor fintech, dan menjadi standar pembayaran di negara masing-masing”.
Kehadiran QRIS, UPI, dan Pix menunjukkan sebuah tren baru: negara-negara berkembang kini mampu membangun sistem keuangan digital mereka sendiri. Mereka tidak lagi harus bergantung pada sistem dari Barat (seperti Visa/Mastercard) atau dari Tiongkok (seperti Alipay).
Jadi, perseteruan ini lebih dari sekadar soal kode QR. Ini adalah tentang siapa yang akan mengendalikan masa depan ekonomi digital global. Dan untuk pertama kalinya, negara seperti Indonesia menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi pemain utama.
















