JURNALPOSMEDIA.COM – Belakangan ini pemerintah berniat menggagas era kenormalan baru, hal ini didasarkan pada beberapa aspek. Aspek yang paling mendukung adalah perputaran roda ekonomi yang macet dan tidak stabil. Wacana ini diawali Presiden Joko Widodo pada awal Mei yang mengeluarkan pernyataan “berdamai dengan virus”, dan akhirnya dijawab dengan kebijakan-kebijakan yang mengarah ke pelonggaran pembatasan sosial.
Kenormalan baru ini juga ditandai oleh terbitnya keputusan Kementerian Kesehatan soal protokol kesehatan yang harus dijalankan di masa pandemi. Keputusan ini bernomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Padahal menurut beberapa pakar epidemiologi, pelonggaran pembatasan sosial belum bisa dijalankan jika kurva penyebaran virus belum melandai, “Kalau hanya melihat angka reproduksi, kita tidak tahu sebetulnya sejauh apa penurunan kasusnya,” ujar Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono.
Kritik para pakar bukan tanpa dasar, menurut panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dikutip dari Infografis Koran Tempo 30 Mei 2020, pedoman panduan dari WHO dibandingkan dengan kondisi riil di Indonesia masih jauh panggang dari api. Salah satu panduan WHO menganjurkan adanya penurunan kasus sebesar 50 persen selama lebih dari tiga bulan, sementara di Indonesia penambahan jumlah kasus masih fluktuatif dan belum melewati titik puncak.
Hal ini yang membuat kita harus mempertanyakannya kepada pemerintah, perlukah adanya normal baru? Bagaimana kesiapannya?
Fasilitas Kesehatan Masih Kelabakan
Meninjau beberapa kasus positif belakangan ini, lonjakan kasus terjadi di Jawa Timur. Fasilitas kesehatan kelabakan menangani kasus pasien positif yang terus meningkat. Wakil Ketua Satuan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia Surabaya, Arief Bakhtiar menceritakan bahwa para pasien memenuhi ruang instalasi gawat darurat berbagai rumah sakit di Surabaya lantaran ruang isolasi penuh (Koran Tempo 28 Mei 2020).
Hal tersebut menunjukkan lonjakan kasus belum menurun serta fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan masih kewalahan menangani kasus-kasus baru. Selain itu, pemetaan kasus masih berbeda antara data pusat dan daerah. Kesimpangsiuran inilah yang membuat kita harus waspada adanya gelombang wabah COVID-19 kedua.
Selain di timur Jawa, DKI Jakarta juga masih menerima kasus-kasus baru. Meski sudah melandai, kesiapan fasilitas kesehatan harus menjadi perhatian nomor satu. Di samping itu, DKI Jakarta juga harus sejalan dengan daerah penyangganya, Bodetabek.
Tanpa mengurangi rasa hormat untuk tenaga kesehatan, kondisi fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia belum memadai untuk menerapkan kenormalan baru. Salah satu contohnya ada di Palembang, Sumatera Selatan. Potensi penularan Covid-19 masih tinggi, serta kapasitas laboratorium untuk pemeriksaan COVID-19 belum optimal.
Dikutip dari laman bebas.kompas.id, Gugus Tugas Perecepatan Penanganan COVID-19 Sumatera Selatan, Yuwono menyatakan bahwa kapasitas Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Palembang hanya bisa mengetes 500 spesimen per hari, padahal setidaknya ada 1.000 spesimen yang masuk untuk diperiksa setiap hari.
Meski Palembang dan Jawa Timur bukan termasuk dari 4 Provinsi dan 25 Kota/Kabupaten yang dilonggarkan dan menerapkan kenormalan baru, hal ini bisa jadi perhatian mengingat Indonesia bukan hanya DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tergesa-gesa dalam membuat kebijakan akan berdampak buruk pada sisi kesehatan.
Sementara itu, dilansir dari lokadata.id, fasilitas kesehatan seperti kamar Intensive Care Unit (ICU) dan Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) masih minim. Rerata pengujian spesimen per hari masih di angka 2.000, padahal presiden Joko Widodo menargetkan angka pengujian 10.000 per hari.
Sedangkan, untuk fasilitas kesehatan seperti ruang ICU juga masih tidak memenuhi. Pasalnya menurut data Direktorat Jenderal Pelayanan Kementerian Kesehatan 2018, jumlah tempat tidur untuk ruang ICU masih di angka 7.990 unit. Meskipun tidak semua pasien COVID-19 ditempatkan di ruang ICU, tapi angka positif per 31 Mei 2020 sudah mencapai 26.473 kasus, sangat jauh sekali perbandingannya.
Terburu-buru Normal Baru
Alasan roda perekonomian tersungkur di angka 2,97 persen dari yang diharapkan mengalami kenaikan sebesar 4-5 persen, membuat pelonggaran pembatasan sosial dijalankan. Lobi-lobi pengusaha juga turut andil dalam hal ini. Memang roda perekonomian dan perputaran uang sangat penting, tapi siapa yang menjalankan itu jika kita semua sakit?
Jika hanya memperhatikan aspek ekonomi, baiknya pemerintah mendengarkan saran para pakar. Salah satu Ekonom, Bhima Yudhistira mengatakan seharusnya ada indikator yang jelas tentang kesehatan untuk kembali memutar roda perekonomian, karena dikhawatirkan jika semua orang sakit pemulihan ekonomi akan lebih lambat. (Diambil dari pernyataan Bhima Yudhistira dalam video bertajuk “Indonesia New Normal, Memang Sudah Siap?” oleh Asumsi.co)
Selain itu, yang harus dipertanyakan dalam kenormalan baru ini adalah kejelasan protokol kesehatannya. Berbagai negara seperti Jerman, Korea Selatan dan Vietnam yang telah menerapkan kenormalan baru sudah mengalami puncak wabah. Bahkan, Korea Selatan sedang bersiap gelombang wabah kedua setelah ditemukannya cluster Itaewon.
WHO pun memperingatkan negara-negara yang sudah menjalankan normal baru agar bersiap menghadapi gelombang wabah kedua. Indonesia yang bahkan belum melihat puncak wabah tidak boleh gegabah. Persiapan fasilitas kesehatan yang matang, kedisiplinan setiap orang menjalankan protokol, hingga kejelasan penerapan protokol kesehatan harus diperhatikan.
Pemerintah juga harus membuka data lebih spesifik, termasuk data Orang Tanpa Gejala (OTG) yang dinilai bisa menjadi petaka baru saat normal baru dijalankan. Karena jika tidak ada transparansi data, dikhawatirkan kita akan lebih sulit menghadapi pandemi ini. Maka tidak bisa lagi pemerintah menyembunyikan data. Segelap apapun data di era digital ini, tetap dapat ditemukan.
Terburu-buru kenormalan baru tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek. Ekonomi memang sangat penting untuk menghentikan gelombang PHK yang kian marak, tapi harus selaras dengan aspek kesehatan yang memadai. Begitupun kesiapan menghadapi kebiasaan baru dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan, karena mereka yang berguguran setiap harinya itu bukan sekadar angka. Itu nyawa manusia.
Penulis merupakan mahasiswa semester 8 jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik UIN Bandung.