Wed, 11 December 2024

Derani & Tahun Ke-Sebelas nya

Reporter: Nurul Aisyah Dien Rachmani Putri/ Kontributor | Redaktur: | Dibaca 393 kali

Sun, 2 June 2019
Ilustrasi: Abdul Latief/Jurnalposmedia

Bapak ibuku berceloteh renyah di balik tirai kamar. Entah apa yang mereka bahas, saat itu usiaku masih sebelas tahun dan di dalam otakku hanya memikirkan main- tidur- makan, begitu saja berulang seterusnya. Ibu menyibakkan tirai, otomatis aku ketahuan basah menguping dan aku hanya ber-hehe saja,“ Eh neng, isuk mah maneh teu kudu neangan suluh, teu kudu ka leuweung, didieu bae jeung ambu cicing.”[1], dengan logat Banten yang khas.

Pikiranku terus saja berputar dalam satu pertanyaan, “ Tumben-tumbenan ibu begitu, biasanya aku diam sebentar saja tangan ibu langsung berkaca pinggang “ anak perempuan  mah pamali  males-malesan. Mesti gesit, gimana ngurus anak sama suami nanti kalau ngurus sendiri aja gabisa” begitu yang selalu ibu katakan ketika aku mengeluhkan betapa ribetnya pekerjaan perempuan. Aku menerka-nerka apa yang akan terjadi esok hari, ku tanya ibu jawabnya hanya “ tenang, kamu cukup bahagia saja.”.

Lalu ku tanya bapak, ia hanya tersenyum kecut dan melenggang pergi begitu saja sambil megisap puntung rokok yang ada di tangan kirinya. Jika kau pernah mendengar kata di sinetron-sinetron seperti ” makan tak enak, tidur tak nyenyak, mandi tak basah”, maka itu situasi yang aku rasakan sekarang.

Lalu, hari itu pun tiba. Aku masih belum mengerti, rasa-rasanya bangun tidurku berbeda dengan hari sebelumnya. Dinding rumahku tertutup tirai putih-kuning, kue-kue tersaji di setiap penjurunya. Bergegas ku berlari mencari ibu dan bapak. Cukup mencengangkan, selasar rumahku dipenuhi orang-orang yang aku ingat itu adalah teman ibu dan bapak, saudara-saudara juga tetangga.

Percakapan mereka hanya seputar anak-cucunya, memuji satu sama lain karena hasil berladang tahun ini cukup berlimpah, ada pula yang memegang segelas kopi sambil mengenang kejayaan masa muda nya. Ku lari ke dapur, panci-panci besar diisi sayuran panas mengepul, katel berisi daging ayam berbumbu cabai, dan masih banyak lagi. “ Oh Tuhan, dimana ibu-bapak? Apakah aku masih terjebak dalam bunga tidur? Bangunkan aku!.”

Jari-jari halus menggapai tangan kananku dari belakang. Menyeret tubuhku ke dalam kamar mandi. Kancing bajuku di locotinya satu persatu, air dengan bunga warna-warni tumpah membasahi tubuh. Berteriakpun tak mampu, mulutku di lakbannya sudah. Sementara aku hanya bisa menangis, berpasrah diri[1] Neng, besok kamu ga usah nyari kayu bakar, ga perlu ke hutan, disini aja (di rumah) sama ibu diem.

Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik semester empat

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments