JURNALPOSMEDIA.COM – Keputusan TNI untuk menempuh jalur hukum terhadap Ferry Irwandi mengundang tanda tanya besar. Bukan hanya soal pantas atau tidaknya seorang warga negara dikriminalisasi karena kritik, tetapi juga tentang bagaimana sebuah institusi militer memposisikan dirinya di bawah hukum yang berlaku.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 105/PUU-XXII/2024 sudah tegas menafsirkan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya berlaku untuk individu, bukan institusi. Artinya, TNI sebagai lembaga negara tidak memiliki legitimasi untuk melaporkan pencemaran nama baik atas nama institusi. Jika aturan ini dilanggar, bukan hanya konstitusi yang diabaikan, tapi juga prinsip dasar supremasi sipil.
Demokrasi tidak tumbuh dari diamnya kritik, melainkan dari keterbukaan menerima perbedaan pandangan, bahkan yang paling tajam sekalipun. Jika kritik publik terhadap institusi negara langsung direspons dengan ancaman pidana, ruang kebebasan sipil akan semakin menyempit. Ini berbahaya, karena menggeser posisi militer dari fungsinya sebagai alat pertahanan negara menjadi pengontrol opini publik.
Lebih jauh, kasus ini seharusnya dilihat sebagai ujian bagi TNI dalam membuktikan komitmennya terhadap reformasi 1998: tunduk pada aturan hukum sipil dan tidak mencampuri urusan yang bukan domainnya. Supremasi sipil bukan sekadar jargon, tetapi prinsip yang menjamin keseimbangan antara kekuasaan negara dan kebebasan warga.
Dalam negara demokrasi, kritik kepada lembaga negara harus dijawab dengan transparansi dan perbaikan, bukan dengan laporan pidana. TNI, dengan segala kewibawaan dan perannya yang vital, justru akan lebih dihormati ketika menunjukkan kedewasaan dalam menghadapi kritik.
Kasus Ferry Irwandi seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak, terutama TNI, untuk mengingat kembali batas-batas konstitusionalnya. Menghormati supremasi sipil bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga syarat utama agar demokrasi kita tetap hidup.
















