Thu, 19 September 2024

Jerit Pilu Guru Honorer, Dedikasi Tinggi Tanpa Kesejahteraan Pasti

Reporter: Reta Amaliyah Shafitri/Kontributor | Redaktur: Suryadi | Dibaca 263 kali

Thu, 26 August 2021
Guru Honorer
Seorang guru Sekolah Dasar (SD) sedang mengajar. (Sumber: republika.co.id)

JURNALPOSMEDIA.COM – Menyinggung soal potret guru honorer di Indonesia, yang pertama terlintas di benak tentu tak jauh dari ketidaksejahteraan dan gaji di bawah standar. Kiprahnya dalam penyelenggaraan pendidikan di berbagai pelosok negeri berbanding terbalik dengan nestapa yang mesti dipikul sendiri.

Di satu sisi, peran strategis guru honorer menjadi ‘angin segar’ mengingat banyak wilayah di Indonesia yang masih kekurangan tenaga pengajar. Di sisi lain, agaknya pemerintah belum memiliki anggaran yang cukup untuk memberikan upah layak atau mengangkat guru honorer sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kisah pahit guru honorer tak hanya sekali dua kali mewarnai narasi berita atau dokumenter di media. Tak sedikit pula yang harus mengabdi belasan tahun dan berharap diangkat menjadi PNS sembari memutar otak untuk menambah pundi-pundi rupiah.

Pernah dengar kisah Hervina, guru honorer di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang dipecat karena mengunggah gajinya selama empat bulan sebesar Rp700.000 di media sosial? Atau ironisme Maizetrimal, guru honorer di Tanah Datar yang merangkap sebagai penjaga sekolah selama 15 tahun demi mendapat tambahan penghasilan? Padahal tugasnya krusial, mendidik dan mencerdaskan generasi penerus bangsa. Tentu ini hanya sekelumit dari banyaknya cerita sulit guru honorer. Lantas, mengapa masih bertahan? Apalagi kalau bukan karena ketulusan pengabdian dan kecintaannya pada pekerjaan.

PPPK Guru, Tepatkah?

Masalah kesejahteraan guru honorer memang selalu menjadi polemik dan isu sentral. Pada 2018 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mencetuskan solusi pengangkatan guru honorer melalui seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Muhadjir mengimbau kepada guru honorer agar tidak lagi melakukan ‘kegiatan’ di luar tugas profesionalnya sebagai pendidik. Katanya, aspirasi mereka sudah diperhatikan pemerintah dan terus dicari jalan keluarnya. Keputusan ini selaras dengan aksi mogok ribuan guru honorer di sejumlah wilayah yang mengaku kecewa karena merasa tidak diakomodasi saat rekrutmen CPNS 2018.

Di bawah kepemimpinan Mendikbud Nadiem Makarim, program PPPK untuk menyelesaikan problematika guru honorer tetap diteruskan, pendaftarannya dibuka bersamaan dengan rekrutmen serentak CPNS yang berlangsung pada Juni-Juli 2021 lalu. Kali ini, PPPK menargetkan satu juta guru. Sayangnya, sebagian guru masih menolak, sebab PPPK mensyaratkan pendidikan minimal sarjana dan berusia maksimal 35 tahun. Artinya, guru honorer yang sudah tua dan hanya tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) lagi-lagi harus gigit jari.

Upaya pemerintah untuk menyejahterakan guru honorer lewat program PPPK terbilang belum optimal dan alang kepalang, terlebih dalam memastikan status kepegawaian. Meski penghasilan yang dijanjikan sama dengan PNS, namun tidak ada jaminan setelah pensiun, bisa jadi balik hidup terkatung-katung. Belum lagi bayang-bayang PHK, ketidakpastian karier, dan ketar-ketir lainnya. Persoalan guru honorer bukan cuma tentang uang, bukan?

Hingga kini, skema PPPK terus dipersoalkan. PPPK bukan solusi, rancangannya kabur dan tidak lain hanya kompromi untuk menaikkan standar upah guru honorer. Statusnya tetap tenaga kontrak, tetapi dibalut dengan istilah berbeda. Apabila masa kontraknya habis, mereka harus kembali memikirkan kepastian kerja.

Beban Kerja Tinggi, Kesejahteraan Tak Pasti

Berstatus sebagai guru honorer bukan berarti minim keterlibatan akademik. Di masa pagebluk, beban yang ditanggung makin jomplang dengan perolehan upah yang tak seberapa. Sistem pembelajaran daring memaksa mereka untuk beradaptasi dengan teknologi dan mengubah rencana pelaksanaan pembelajaran. Guru honorer yang punya akses teknologi masih terbilang beruntung (sedikit, karena mengajar daring juga butuh biaya untuk beli kuota internet). Bagaimana dengan yang gaptek? Tuntutannya tentu lebih berat. Harus belajar memahami teknologi, merancang kegiatan belajar mengajar yang ideal (meski sulit tercapai), melaporkan hasil pembelajaran daring, bahkan mengunjungi rumah siswa-siswinya yang tidak memiliki perangkat memadai.

Guru honorer harus multitalenta. Jika tidak, gajinya yang jauh di bawah UMR tak mungkin cukup untuk bertahan hidup.Tidak ada guru honorer yang seratus persen mengandalkan gajinya, mayoritas melakoni pekerjaan sampingan, entah membuka bimbingan belajar, merangkap tugas sebagai operator sekolah sampai staf tata usaha, atau mengajar di banyak tempat. Kewajiban mendampingi siswa-siswinya belajar kadang menjadi kurang optimal, sebab terbentur pemenuhan kebutuhan pokok yang juga sama mendesaknya.

Guru Sejahtera, Pendidikan Indonesia Maju

Seiring dengan bertambahnya penduduk, jumlah guru tetap seharusnya juga diperbanyak. Tetapi, realitanya proses rekrutmen CPNS malah dibuat berbelit-belit. Akibatnya, perlu waktu lebih lama untuk merekrut guru berstatus PNS yang akhirnya justru menjadi bumerang bagi pemerintah. Sementara itu, setiap tahunnya ada banyak guru yang mencapai era pensiun, sehingga diangkatlah guru-guru yang pada ujungnya dilabeli honorer.

Pemerintah terlalu menggebu-gebu untuk memajukan pendidikan nasional. Visi ini sangat baik, tapi selama nasib guru masih mengawang-awang, maka dilema kesejahteraan belum terhapuskan. Harapan baik pemerintah niscaya berhasil jika SDM yang terlibat sudah disejahterakan, karena dalam prosesnya pasti akan menuntut sinkronisasi otak, otot, dan waktu.

Rasanya, sudah sewajarnya guru honorer diberikan penghargaan atas peran dan posisinya yang sangat vital. Walau begitu, penghargaan mesti selaras dengan kinerja dan kualitasnya. Penghargaan bukan melulu soal peningkatan gaji dan tunjangan, tetapi perbaikan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi calon guru. Apabila telah sejalan dan sejalin, guru akan memfokuskan diri untuk menjalankan tugas secara profesional sebagai tenaga pengajar, pahlawan tanpa tanda jasa.

 

*Penulis merupakan alumni Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 2016

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments