JURNALPOSMEDIA.COM – Profesi guru sejak lama dikenal sebagai pilar utama bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Mereka mengabdi sepenuh jiwa untuk mencerdaskan generasi. Namun ironinya, kesejahteraan justru kerap jauh dari harapan. Dedikasi yang begitu besar seringkali tidak sebanding dengan penghargaan yang layak diberikan oleh negara, hingga membuat profesi mulia ini seakan terjebak dalam lingkaran pengabdian tanpa kesejahteraan.
Kondisi memprihatinkan ini semakin jelas jika dibandingkan dengan negara tetangga. Dilansir dari Databoks, rata-rata gaji guru di Indonesia hanya Rp2,4 juta per bulan, jauh tertinggal dari Singapura yang mencapai Rp11,9 juta, Thailand Rp9,5 juta, bahkan Malaysia Rp5,5 juta. Perbandingan ini memperlihatkan jurang ketidakadilan yang kian melebar, guru Indonesia terus mengajar dengan dedikasi, tetapi dihargai paling rendah di kawasan Asia Tenggara.
Perbandingan tersebut seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah bahwa problem kesejahteraan guru bukan sekadar angka, melainkan soal martabat profesi. Di tengah kompetisi global yang semakin ketat, bagaimana mungkin kita bisa berharap pendidikan melahirkan generasi emas jika pendidiknya sendiri justru diperlakukan paling rendah?
Dilansir dari Tirto.id, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui tes angket kepada siswa Sekolah menengah Atas dan Madrasah Aliyah (SMA/MA) di 8.549 sekolah terdapat 89 persen siswa bercita-cita untuk menjadi pengusaha dalam berbagai sektor. Sementara sisanya, sebanyak 11 persen dengan mayoritas perempuan, bercita-cita menjadi guru.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana profesi guru kian terpinggirkan dalam imajinasi generasi muda. Mereka lebih melihat dunia bisnis sebagai jalan masa depan yang menjanjikan, sementara profesi guru dianggap kurang layak secara ekonomi. Bukankah ini tanda jelas bahwa profesi guru kian terpuruk, bukan lantaran pudar pengabdian, melainkan karena negara abai pada hak kesejahteraannya?
Kemudian mengutip dari Goodstats, lebih dari 55,8% guru di Indonesia terpaksa memiliki pekerjaan sampingan seperti les privat, berdagang, hingga petani untuk sekadar mencukupi kebutuhan hidupnya karena tekanan ekonomi yang terus menjalar. Fakta yang tragis bagi profesi guru yang seharusnya mulia justru dipaksa bertahan dalam keadaan pas-pasan. Bahkan, survei menunjukkan 20 persen guru masih digaji di bawah Rp500 ribu per bulan, angka yang sama sekali tidak sepadan dengan peran guru sebagai penopang lahirnya generasi bangsa.
Kisah nyata pun berbicara lebih lantang daripada angka, melalui Sukabumiupdate, seorang guru honorer bernama Saryono harus bertahan dengan honor Rp350 ribu per bulan yang bahkan hanya cair setiap tiga bulan sekali. Ia sudah mengabdi sejak 1992, namun kesejahteraan tak kunjung berpihak. Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang yang membentuk karakter bangsa digaji hanya cukup untuk membeli bensin dan beras seadanya.
Di balik semua keterbatasan, semangat guru Indonesia tetap terus tegak. Data Survei Institut for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyatakan terdapat 93,5 persen guru tetap ingin mengabdi hingga pensiun meski kesejahteraan mereka jauh dari layak. Inilah pengabdian yang seharusnya membuat pemerintah menundukkan kepala, bukan menutup mata.
Ketidakadilan terhadap guru adalah bom waktu bagi masa depan bangsa. Kesejahteraan guru seharusnya tidak hanya dipandang sebagai isu profesi, melainkan juga sebagai fondasi pembangunan bangsa. Selama pemerintah masih menunda penyelesaian masalah kesejahteraan, maka cita-cita pendidikan yang adil dan merata akan terus tertinggal.