Thu, 10 October 2024

Binar Asa dalam Inovasi

Reporter: Reta Amaliyah Shafitri | Redaktur: Nazmi Syahida | Dibaca 379 kali

Fri, 22 November 2019
Situasi kemacetan di Kota Bandung. (Dokumen Pribadi)

JURNALPOSMEDIA.COM-Mitsubishi Colt T120ss berbadan hijau dengan setrip biru berderet di sepanjang sisi Bundaran Cibiru. Sesekali, deru mesinnya menciptakan kepulan asap hitam. Disusul riuh teriak dan lambaian sopir angkutan kota rute Cicadas-Cibiru. Disertai raut penuh harap, mereka menggiring calon penumpang agar tak berbelok ke halte bus Damri dan Trans Metro Bandung yang letaknya persis di depan pangkalan angkot.

Dari bingkai jendela tempat duduk sopir, Acep Jamal (53) tertunduk ditemani sepoi angin berpolusi. Keningnya mengernyit usai menghitung lembaran rupiah dari dasbornya yang belum memenuhi target setoran. Dari pukul 6 pagi, Ia mesti berpacu dengan transportasi umum lainnya dan kendaraan pribadi yang menjejali jalanan Kota Bandung.

Bukan Bandung jika tiap sudut kotanya tak memperlihatkan kemacetan dan bising klakson yang bersahutan. Kebanyakan didominasi kendaraan pribadi. Malangnya, angkot kerap menjadi sasaran empuk yang disebut-sebut sebagai biang kemacetan karena pemberhentiannya tak kenal tempat, alias sembarangan. Belum lagi jika harus mengetem di tepi jalan.

Padahal, populasi angkot di Kota Bandung hanya berjumlah 5.521 unit. Kalah telak jika dibandingkan dengan jumlah kendaraan Roda Empat dan Dua berjenis Bukan Umum yang tercatat di situs web milik Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, yakni sebanyak 1.701.614 unit.  Angka tersebut berdasarkan data Jumlah Kendaraan Bermotor Umum dan Bukan Umum untuk BPKB Menurut Cabang Pelayanan di Jawa Barat khususnya Kota Bandung Pajajaran, Kawaluyan, dan Soeta.

Agaknya, jabaran data di atas bisa menjadi acuan agar stereotip negatif tak terus menerus dilayangkan kepada angkot sebagai transportasi yang masih tergolong vital bagi sebagian kalangan. Acep menyebut, angkot memiliki tempat mengetem tersendiri di tiap rutenya. Jika toh harus berhenti sejenak di tempat yang kurang lapang dan menyebabkan macet, tak lain karena keperluan menurunkan atau menaikkan penumpang. Selebihnya, kata Acep, angkot jarang berhenti tanpa alasan.

“Ada desakan setoran dan kebutuhan dapur yang mesti dipenuhi. Sebagai sopir angkot, saya tidak ingin disalahkan sebagai penyebab kemacetan. Sesama pencari nafkah harusnya mengerti,” ujar Acep.

Bisnis Model Angkot Terbaru

Baru-baru ini, inovasi angkot daring yang dapat dipesan melalui aplikasi digadang-gadang membawa perubahan bagi wajah angkot di Bandung. Setidaknya, agar selangkah lebih modern dan setingkat dengan mode transportasi online yang kian marak. Sayang, baru beberapa koperasi angkutan yang bergabung dan bersedia memperbaiki layanan angkot dengan menghadirkan fasilitas penunjang kenyamanan penumpang.

Acep turut senang dan mengapresiasi gebrakan baru tersebut. Namun, bagi para sopir angkot awam seperti dirinya, nampaknya hanya sekian persen harapan untuk dapat terlibat dalam program inovatif itu. Era digital tidak turut membawanya keluar dari zona gagap teknologi.

Dapat dibilang, angkot menjadi transportasi umum pelopor yang tinggal dimaksimalkan. Tanpa aplikasi, angkot bisa lebih dibuat terpusat seperti Damri yang diatur sebuah lembaga khusus. Maka, akan ada kejelasan terkait jadwal keberangkatan serta tarif yang harus dibayar. Sopir angkot pun tak perlu lagi ambil pusing soal setoran.

Solusi Macet

Memasyarakatkan dan mengkaji ulang bisnis baru angkot menjadi salah satu solusi mengurai kemacetan sekaligus memperpanjang umur angkot itu sendiri. Penyamarataan modernisasi dan kenyamanan fasilitas angkot juga menjadi faktor yang menarik masyarakat untuk terus menggunakan angkot bahkan beralih dari penggunaan kendaraan pribadi. Dengan demikian, kedepannya angkot diharapkan mampu bertahan dari gerusan zaman.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments