JURNALPOSMEDIA.COM – Suasana yang asri dan nyaman begitu menguar dari salah satu rumah tahfidz bernama Mihrab Quran Al-Fatih. Rumah itu berlokasi di Jalan Puri Asih, Cilengkrang 1, Ujung Berung, Bandung. Pemandangan depan rumah yang langsung menghadap pesawahan pun sangat menyejukkan. Namun, di satu sisi tetap hangat berkat hadirnya para santri di sana.
Tersirat senyum ramah dari sosok pendiri sekaligus pengelola rumah tahfidz, Muhammad Isa. Dibantu kursi roda sebagai tumpuannya, ia perlahan menghampiri untuk berbincang seputar rumah tahfidz satu ini. Ya, Isa adalah penyandang disabilitas tunadaksa. Rupanya, ia pun lebih senang disebut pelayan para santri dibanding pendiri pesantren.
Mengawali perbincangan, dirinya mengungkap mulai mendirikan Mihrab Quran Al-Fatih sejak Maret 2019 lalu. Bersama rekannya yang juga memiliki pondok rumah singgah Al-Fatih, Hafidz, ia mulai merintis dan mewujudukan pondok pesantren berbasis tahfidz Al-Quran. Hingga kini, jumlah santri di sana berjumlah 77 orang dengan 3 asrama yang dimiliki Isa.
Antuasiasme saat membuka pendaftaran santri pun diakuinya sangat baik. Hal itu dikarenakan respons yang diluar ekspektasi dan jumlah pendaftar yang di luar target, “Ketika kami buka pendaftaran di Instagram, yang daftar hampir 150 orang. Namun, akhirnya saya ngobrol dengan Hafidz karena beberapa kendala,” ucapnya penuh haru, Minggu (27/9/2020) lalu.
Awalnya, itu dirasa cukup berat bagi Isa. Terlebih untuk memenuhi kebutuhan seperti kasur, lemari dan berbagai persediaan santri. Namun, Isa dan rekannya akhirnya memutuskan untuk menerima santri sebanyak 70-an orang. Hal itu telah dia pertimbangan sesuai batas kemampuannya. Yakni dengan menyesuaikan tempat, pengajar, khususnya dalam hal sumber daya manusianya.
Cita-Cita Rumah Tahfidz yang Ramah Difabel
“Bahagia itu bukan tergantung orang lain. Bahagia itu datang dari orang-orang yang bersyukur,” ungkap Isa saat berbincang mengenai tagline “Rumah Tahfidz Bahagia” yang disandang Mihrab Quran Al-Fatih. Mimpinya, rumah tahfidz satu ini dapat menjadi sebuah pesantren yang ramah difabel. Latar belakang dirinya yang seorang difabel pun menjadi salah satu alasannya.
Sepanjang perjalanannya, ia kerap kali bertemu dengan orang-orang difabel. Seperti halnya bertemu di kajian-kajian disabilitas dengan obrolan yang sama. Isa menyimpulkan, banyak dari mereka yang memiliki keinginan tinggi untuk belajar Al-Quran begitupun agama. Namun, fasilitas untuk penyandang disabilitas tidak banyak.
Contohnya, ia memperhatikan masjid-masjid yang ada, rata-rata tidak ramah difabel. Hal itu membuatnya gelisah dan Isa pun acap kali kesulitan menemukan masjid yang memiliki jalur kursi roda. Umumnya, masjid-masjid besar pun hanya memiliki anak tangga yang banyak, “Seharusnya pemerintah kota harus bisa mencakup seluruh warganya, dan di antara warganya ada yang difabel,” terangnya.
Pasalnya, Isa mengungkapkan kaum difabel itu benar-benar membutuhkan asupan nutrisi untuk ruhnya. Hal itu yang bisa menguatkan dirinya untuk tetap semangat, tidak mudah mengeluh, menjadi pribadi yang tangguh, sehingga ruhiyah-nya yang dapat diisi. Tentunya, di samping diberi makan, diberi sumbangan atau diberi pelatihan-pelatihan.
Isa menanggapi, kebanyakan pelatihan yang disediakan selalu perihal bagaimana caranya menghidupi diri sendiri. Isa menyebutnya berupa keselamatan di dunia. Namun, hal yang ia khawatirkan adalah jarangnya perhatian akan keselamatan di akhirat, “Jangan sampai mengalami kerugian dua kali. Karena keterbatasan fisik di dunia, lalu takut di akhirat tidak mendapat surga gara-gara jauh dari Allah SWT,” ungkapnya risau.
Berbicara mengenai keluarganya, Isa mengatakan bukan hanya ia yang seorang difabel, namun juga kedua kakaknya. Isa bercerita kalau dirinya lumpuh ketika menginjak usia 17 tahun, sekitar 2006 saat baru lulus SMA. Ketika SD, SMP bahkan SMA ia masih bisa berjalan. Tapi, semakin bertambahnya usia dan berat badan, Isa merasa sulit untuk berjalan karena ada yang salah di bagian otot lututnya.
Di balik keterbatasannya, Isa berkeinginan membantu penyandang disabilitas untuk lebih mengenal Allah SWT melalui Al-Quran. Sehingga, kata Isa, mereka bisa senantiasa berpikir positif sembari menghafal Al-Quran, “Mengajak teman-teman yang senasib dengan saya, mudah mudahan bisa mendekati Allah,” lanjutnya.
Usaha Mewujudkan Impiannya
Kembali pada cita-cita mulia lsa, ia merasa bahwa perencanaan untuk mewujudkan konsep ramah difabel itu dapat diserahkan kepada ahlinya. Ia merasa, barangkali tunadaksa sepertinya tidak banyak kendala. Namun, seperti tunarungu atau tunanetra tampaknya memang memerlukan bantuan khusus. Adapun konsep lain yang ia seriusi adalah pembangunan masjid yang ramah difabel.
Ia akui sempat berbincang dengan salah satu tokoh difabel di Bandung, Aden. Dalam obrolannya, ada secercah keinginan agar tunarungu bisa datang ke masjid dan mendapatkan ilmu. Sementara ini, di masjid-masjid belum banyak yang bisa diakses oleh tunarungu. Misalnya dengan isyarat atau dengan teks, “Karena sudah ditemukan alat yang setiap keluar perkataan (seperti dari khotib) bisa langsung muncul teksnya di sebuah layar,” katanya.
Pertama-tama, ia ingin mewujudkan masjid yang bisa diakses oleh kursi roda. Kedua, menyediakan jalur untuk tunanetra, dan yang ketiga bisa diakses oleh tunarungu. Di samping itu, meski Isa ingin mengusung konsep pesantren ramah difabel, namun bukan berarti khusus untuk para difabel saja. Akan tetapi, kata Isa, ada juga santri yang sehat (normal).
Sementara ini, proses yang sedang ia lalui ialah pembebasan lahan. Hal itu dikarenakan Isa membutuhkan lahan yang cukup luas untuk dipergunakan nantinya. Namun, itu pula yang menjadi salah satu kendala. Hambatan lain yang Isa rasakan yakni dari segi materi yang harus diselesaikan dalam waktu sekitar dua tahun. Sesuai kesepakatannya dengan pemilik lahan.
Menurutnya, di saat proses pelunasan berjalan, proses pembangunan secara sederhana pun akan tetap digarap. Kendati rumah tahfidz ramah difabel belum resmi dibuka, Isa akui sudah ada beberapa yang berminat. Namun, hingga saat ini belum dapat direalisasikan karena belum adanya pengajar yang paham dan siap untuk mengaping.
Sebagai penutup, Isa mengatakan tidak banyak yang ia harapkan. Ia hanya ingin didoakan dan mendapat dukungan dari orang banyak, “Pengen banyak didoakan dan didukung oleh berbagai kalangan, agar pesantren ramah difabel segera terealisasi,” pungkasnya dengan seulas senyum hangat.