JURNALPOSMEDIA.COM– Pagi-pagi sekali suara dering telepon menggema di seluruh ruangan. Saat terbangun, sudah ada empat misscaled di riwayat panggilan dari kontak nomor yang sama, Redaktur Detik Bandung. Ia segera membuka isi chat yang ternyata lebih banyak dari dering telepon yang memekakan telinga, “Jam enam berangkat, jangan lupa bawa kamera, akan ada aksi di Gasibu”.
Isi pesan tersebut sudah menjelaskan penuh maksud dari rentetan dering telepon lima menit lalu, yang berarti ia harus bergegas meliput aksi tersebut. Siti Fatimah namanya. Seorang jurnalis muda di Detik Bandung yang sudah tidak kaget dengan aktivitas barunya sebagai seorang wartawan, “(Jadi) jurnalis itu pekerjaan yg menyenangkan. Tidak terikat dengan jam kerja. Kita tidak bisa memprediksi akan lebih awal selesai, atau harus lembur semalaman,” ungkapnya, Kamis, (12/11/2020).
Ia melanjutkan, sejak 2018 dirinya menjadi seorang jurnalis, banyak ilmu yang telah diserap. Juga pengalaman bertemu dengan sejumlah petinggi, “Bertemu dan berhadapan langsung dengan orang-orang penting. Hari ini bisa meliput isu kesehatan, tapi besok bisa berubah ke (isu) pendidikan, bahkan ekonomi. Itulah yg jadi kesempatan untuk meraup sebanyak mungkin informasi dan keilmuan agar bisa disampaikan dengan baik kepada masyarakat,” jelasnya.
Informasi yang begitu cepat menuntut para jurnalis untuk selalu update terhadap informasi yang berkembang. Kondisi pandemi juga merubah cara kerjanya sebagai wartawan, kini narasumber lebih banyak dihubungi via panggilan telepon. Selain itu, liputan yang dilakukan langsung di lapangan, terkadang memunculkan kekhawatiran tersendiri baginya.
“Pernah, ketika liputan di dalam acara, beberapa hari kemudian salah satu orang humasnya terkonfirmasi positif (Covid-19). Saat itu juga redaktur menyuruh saya untuk isolasi mandiri selama 14 hari. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Diawal-awal pandemi, perusahaan media juga memberikan asupan vitamin yangg cukup, sehingga saya tidak merasa khawatir meskipun beberapa kali liputan ke lapangan. Dukungan tersebut menjadi suka dan duka,” ceritanya.
Ia mengaku selama menjadi wartawan, dirinya tidak pernah mengalami tindakan diskriminasi maupun kesulitan yang berarti, “Alhamdulillah selalu dimudahkan untuk melakukan peliputan. Dari medianya, rekan wartwan dan narasumber juga tidak pernah melakukan tindakan diskriminatif. Kalaupun ada gesekan antar wartawan, saya rasa itu hal yang biasa dalam pekerjaan,” imbuhnya.
Namun terlepas dari itu semua, Fatimah begitu menikmati profesinya tersebut, “Selain menambah wawasan diri, jurnalis juga menjadi media kepada masyarakat. Itu yg bikin terkesan selama jadi wartawan. Istilahnya, kitalah kunci gudang informasi orang-orang,” ucapnya.
Jika membahas tentang wartawati, maka tidak lengkap rasanya jika tidak menyebutkan nama Rohana Kuddus di dalamnya. Seorang pionir jurnalis wanita pertama di Indonesia, tekadnya ingin mengkomunikasikan pada publik kala itu, bahwa wanita juga perlu dibebaskan dari keterbelakangan. Visi ini juga yang menjadi motivasi seorang jurnalis Kompas, Reni Susanti, “Seorang jurnalis dapat membantu menyuaran suara-suara yang selama ini tidak didengar,” tuturnya tegas.
Berbeda dengan Fatimah, Reni lebih dulu mengenyam asam garam profesi sebagai wartawan. Selama 16 tahun Reni menjadi wartawati, ia mengungkap bahwa dalam pekerjaannya, semua wartawan diperlakukan hampir sama. Meski kadang kali ia mendapat sedikit perlakuan yang berbeda dari atasannya, “Jam piket yang diperpendek, atau mendadak digantiin atasan karena khawatir geng motor. Atau saat investigasi ke China yang terkenal rawan, akhirnya tidak diperbolehkan pergi sendiri ke China. Sisanya so far so good,” ungkapnya pada Sabtu, (14/11/2020).
Lebih jauh, Reni menceritakan kendala yang kadang menghambatnya saat liputan di lapangan, “Kalau dengan narasumber dan wartawan lain nyaris enggak ada persoalan. Lebih ke hal teknis, misal perempuan itu ada kalanya datang bulan, dan itu mulesnya luar biasa. Atau masalah buang air kecil, pria bisa dimana saja. (Sedangkan) perempuan agak ribet,” selorohnya.
Perannya sebagai seorang ibu dan wartawan juga menghadirkan dilema dan tantangan tersendiri, “Sebelum punya anak, dipindah tugas ke luar kota, seneng-seneng aja. Sekarang sedih karena berpisah dengan anak. Dulu saat anak masih bayi, malah sering ditinggal tugas ke luar daerah beberapa bulan. (Tapi) sekarang alhamdulillah udah enggak pernah dipindah-pindah (tugas) lagi,” ucapnya.
Keduanya mengatakan jawaban serupa saat ditanya apa yang harus dipersiapkan calon wartawati dikemudian hari, “Punya mental yang kuat,” tutup Reni singkat.