Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam proses memajukan negara. Namun perlu disayangkan bahwa tidak semua orang dapat merasakan pendidikan hingga ke jenjang akhir. Begitu banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi yang tidak memadai. Masalah ini lah yang ingin dituntaskan oleh adanya Sekolah Rakyat Cicalengka.
Sekolah tersebut berdiri sejak 2009 di bawah naungan Yayasan Frekuensi Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan. Di bawah divisi pendidikan dan pengembangan yang diketuai oleh Agus Akmaludin. Tujuan utama berdirinya sekolah rakyat ini untuk mengurangi angka putus sekolah di Kampung Ranca belut, Desa Tanjung Wangi, Kecamatan Cicalengka, Jawa Barat.
Pendiri sekaligus Kepala Sekolah Rakyat Cicalengka, Agus Akmaludin menuturkan pada awalnya ia ingin mengubah mainset para orang tua di Desa Tanjung Wangi. Sebagian besar orang tua di Desa Tanjung Wangi beranggapan anak-anak harus membantu pekerjaan orang tua di kebun atau sawah. Namun hal itu tidak membuat Agus menyerah, ia berusaha untuk meyakinkan warga Tanjung Wangi tentang pentingnya pendidikan bagi anak. Setelah kepercayaan warga bisa diraihnya, sekolah rakyat pun mulai beroperasi.
“Kalau kita lihat di Tanjung Wangi dari ujung sana ke sini itu tidak ada sekolah tingkat SMP dan kebanyakan itu SD ada 5 tapi kalau untuk SMP itu tidak ada satu pun dan kami dapat kabar bahwa disini itu banyak anak-anak yang putus sekolah, karena jarak yang jauh dan mengeluarkan ongkos yang besar, lalu ada teman yang sama-sama mahasiswa ngusulin buat sekolah disini, ya alasan utamanya sih karena banyak anak yang putus sekolah,” terang Agus.
Diawali dengan bimbingan belajar di mushola dan rumah-rumah warga, Agus bersama rekan-rekan mulai membangun sekolah dari swadaya masyarakat Yayasan Frekuensi Indonesia. Saat ini, sekolah rakyat yang didirikan oleh Agus diberi nama SMP Djuantika, nama tersebut diambil dari gabungan nama pahlawan Ir. H. Djuanda dan Dewi Sartika.
Saat ini Sekolah Rakyat Cicalengka memiliki 48 siswa dan 9 tenaga pengajar dari Mahasiswa S1, S2 dan S3. Dan sudah sebanyak 50% siswa lulusan Sekolah Rakyat Cicalengka melanjutkan ke jenjang SMA. “Pas awal angkatan pertama itu ada 10, sampai kepada angkatan sekarang ada peningkatan jadi 48 siswa,” ungkapnya.
Adapun materi yang diajarkan sesuai dengan kurikulum nasional, Sekolah Rakyat Cicalengka memiliki materi tambahan yang membedakannya dengan sekolah lain. Seperti tahun lalu siswa-siswanya aktif dalam kegiatan berwirausaha, dan pernah membuat beberapa produk seperti Coklat Aya Ubian (Cobian) dan Bodogol Gepuk (Bopuk). Namun, program berwirausaha ini tidak dijalankan terus menerus karena dikahawatirkan dapat mengganggu jam belajar siswa. Lalu Agus memikirkan cara yang efektif untuk menciptakan materi tambahan tanpa harus mengganggu jam belajar siswanya yaitu dengan menerapkan project best learning yang mewajibkan setiap siswa kelas 9 untuk membuat blog.
“Dulu itu sempat aktif tahun kemarin kita buat seni kriya, seni kriya itu dari kertas koran dibuat kerajinan kemudian dijual. Kita itu dulu mewakili Kabupaten Bandung untuk tingkat provinsi jadi lomba kriya se-Jawa Barat. Kalau sekarang itu ada project best learning jadi berdasarkan hasil pembelajaran mereka di kelas kalau kelas 3 itu harus memproduksi blog nanti kerjasama dengan pelajaran bahasa Indonesia, tulisan mereka kayak cerpen, puisi, dipost di blog mereka.” pungkasnya.
Agus memiliki harapan yang sangat sederhana, ia berharap agar anak-anak yang berada dalam usia wajib sekolah tidak putus sekolah dengan alasan akses pendidikan yang jauh dan faktor ekonomi keluarga. Agus meminta kepada pemerintah untuk dapat membantu sekolah-sekolah seperti sekolah rakyat yang berada di Cicalengka ini.