JURNALPOSMEDIA.COM – “Renaissance bukanlah runtutan periode waktu. Renaissance adalah periode pemikiran, artinya tidak melekat pada waktu. Renaissance melekat pada orang yang berpikir sesuai corak pemikiran tersebut,” tutur anggota divisi bidang Nalar dan Intelektual Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN Bandung, Kiki Fijay.
Dalam diskusi bidang Intelektual dan Sosial Hima Jurnalistik yang digelar Kamis (21/5/2020) itu, Kiki memberikan gambaran bahwa langkah kita hari ini adalah terusan langkah dari para pendahulu di zaman sebelumnya. Salah satu langkah yang paling menentukan zaman berikutnya adalah Renaissance, atau Renaisans dalam bahasa serapan Indonesia.
Untuk lebih menghayati pembahasan, Kiki memperlihatkan lukisan Hans Holbein berjudul The Ambassador (1533), “Holbein melukis ini untuk menggambarkan kejayaan Renaisans. Di dalamnya dilukiskan rak alat-alat sains seperti celestial globe, kuadran, jam matahari, dan torquetum, di bagian atas. Di rak bawah ada dua buku kecapi, terrestrial globe, seruling, jangka, dan pengukur geometri,” paparnya.
Kiki mengatakan barang-barang tersebut menggambarkan tujuh disiplin ilmu yang menyokong corak pemikiran Renaissance. Yaitu, gramatika, logika, retorika, aritmatika, musik, geometri dan astronomi. Lebih lanjut, Kiki menuturkan latar belakang masa Renaissance yang dipengaruhi kematian, kemiskinan, dan kekalahan.
“Wabah Black Death, konflik Muslim–Kristen di Spanyol dan Afrika Utara, Perang Venesia, dan perang seribu tahun di sepanjang Eropa Utara yang membunuh jutaan jiwa dan menghancurkan pasar”, ujar Kiki. Namun, Kiki berkata yang membuat orang-orang Eropa merasakan kekalahan telak adalah ditaklukannya Kerajaan Romawi Timur di Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II dari Kesultanan Ottoman.
Para ilmuwan di Romawi Timur akhirnya pindah ke Florence, Italia dan melakukan penerjemahan teks-teks Yunani dan Helenistik. Alih-alih tertinggal dalam ilmu pengetahuan, kata Kiki, Sultan Mehmed II membangun perpustakaan yang lengkap melebihi perpustakaan yang ada di Florence.
Berbeda dengan kemajuan Ottoman di Timur, kehidupan di Barat justru dalam tekanan Gereja. Namun, pengaruh Gereja akhirnya melemah sehingga corak pemikiran Renaissance terbentuk. Adapun, salah satu filsuf Renaissance yang sangat berpengaruh adalah Machiavelli.
“Pemikiran Machiavelli berpondasi bahwa alam itu nyata, maka politik pun nyata dan berupa kekuasaan. Berbeda dari pemahaman masa sebelumnya bahwa kekuasaan itu mandat Tuhan di Bumi. Begitupun humanisme merupakan standar moral kekuasaan yang dipegang pemimpin. Bukan institusi Gereja seperti pemahaman yang berkembang saat ini,” ujar Kiki.
Ia melanjutkan peninggalan dan pengaruh Renaissance bukan berbentuk lukisan,bangunan, atau kekuasaan, namun juga dalam ranah pemikiran. Meski masa Renaissance ini sangat singkat, namun filsafat Renaissance menjadi pondasi pemikiran filsafat pada masa Pencerahan, “Humanisme adalah pemikiran yang paling dipakai sepanjang masa Pencerahan hingga kini,” katanya.
Seorang peserta diskusi, mahasisiwi UIN Bandung, Elza Nur Aziza mengatakan topik diskusi tentang pemikiran Renaissance kali ini bagus. Menurutnya, Renaissance merupakan sejarah yang cukup besar sehingga amat disayangkan jika tidak dipelajari kembali.
“Renaissance adalah zaman kebangkitan dari ratusan tahun keterpurukan bangsa Eropa dan hadir setelah pandemi yang membunuh jutaan warga Eropa. Sekarang kita terpuruk, juga banyak yang mati karena pandemi, karenanya kita mesti survive demi menyambut Renaissance kita di kemudian hari,” pungkasnya.