Wed, 3 December 2025

Redenominasi: Penyederhanaan Rupiah atau Picu Mispersepsi Publik?

Reporter: FATHIA KAPPARINI | Redaktur: ANGGIA ANANDA SAFITRI | Dibaca 105 kali

9 jam yang lalu
(Sumber foto: Freepik)

JURNALPOSMEDIA.COM – Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa kembali mengusulkan rencana redenominasi rupiah. Usulan ini menimbulkan pertanyaan penting: di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, apakah kebijakan ini memang sudah tepat, atau justru bisa menimbulkan kebingungan baru di tengah masyarakat?

Lalu, apa itu redenominasi rupiah? Dilansir dari djpb.kemenkeu.go.id, redenominasi adalah proses penyederhanaan nilai mata uang dengan cara menghilangkan beberapa digit nol dari nominal uang tanpa mengubah nilai riil atau daya belinya itu sendiri.

Pada tahun 1965, Indonesia juga pernah menerapkan kebijakan redenominasi untuk menekan hiperinflasi yang mana perekonomian Indonesia mengalami lonjakan harga ekstrem dengan mencapai inflasi 634%. Namun, kebijakan tersebut gagal dijalankan karna waktunya tidak tepat dilakukan di tengah ekonomi yang tidak stabil bahkan parah, serta diperburuk dengan adanya gejolak politik pasca insiden G30SPKI.

Jika Indonesia berencana kembali menerapkan redenominasi rupiah, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek secara matang agar kegagalan terdahulu tidak kembali terulang. Kebijakan ini juga perlu dirancang dengan adanya komunikasi publik yang efektif agar tidak menimbulkan mispersepsi di masyarakat.

Sebagai perbandingan, Turki membutuhkan waktu hingga tujuh tahun untuk mempersiapkan kebijakan redenominasi mata uangnya, hingga akhirnya berhasil. Indonesia juga perlu memastikan bahwa seluruh kondisi dalam keadaan stabil baik dari ekonomi, sosial, maupun politik sebelum kebijakan tersebut benar-benar dijalankan.

Adapun dampak positif dan negatif jika kebijakan redenominasi ini diterapkan di Indonesia:

  • Membantu Memberantas Korupsi. Banyak pelaku korupsi yang menyimpan asetnya dalam bentuk uang tunai atau emas batangan yang tidak tercatat dalam sistem. Dan proses penukaran uang saat redenominasi dapat memperlihatkan selisih antara harta yang mereka miliki dengan data pajak, sehingga penyimpangan lebih mudah terungkap.
  • Risiko Hiperinflasi. Hiperinflasi yaitu kenaikan harga barang dan jasa dengan cepat hingga mencapai lebih dari 50%. Untuk mencegah hiperinflasi pemerintah harus melakukan sosialisasi sejak jauh-jauh hari agar masyarakat memahami bahwa hilangnya tiga angka nol di rekening hanyalah penyesuaian nominal, bukan pengurangan nilai uang.
  • Risiko inflasi akibat pembulatan harga (rounding). Contohnya, harga barang dari Rp13.700 menjadi Rp13,7 setelah redenominasi. Namun sebagian pelaku usaha dapat bersikap oportunistik dengan membulatkan harga menjadi 14 dan jika itu terjadi secara luas hal ini akan memicu terjadinya inflasi.
  • Meningkatkan efisiensi transaksi. Kesalahan ketika melakukan transfer berpotensi berkurang karena angka menjadi lebih sederhana. Selain itu, proses input di akuntan menjadi lebih mudah karena tidak perlu menangani terlalu banyak angka nol.

Pada akhirnya, redenominasi tidak hanya soal mengubah nominal rupiah, tetapi juga membutuhkan persiapan yang panjang, perhitungan matang, serta komunikasi publik yang komprehensif. Tanpa stabilitas ekonomi dan pemahaman masyarakat, kebijakan ini dapat menimbulkan masalah baru. Namun jika  dijalankan pada momentum yang tepat, redenominasi berpotensi menjadi langkah strategis untuk memperkuat nilai rupiah dan meningkatkan efisiensi sistem keuangan.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments