JURNALPOSMEDIA.COM — Pajak merupakan hal penting bagi setiap negara yang wajib dibayar oleh warga negaranya sendiri. Membayar pajak juga menjadi bagian dari tanggung jawab sosial dan kontribusi untuk kepentingan bangsa. Pajak yang dibayar oleh para warga bukanlah sekadar angka, melainkan harapan besar masyarakat yang sudah membayar pajak dengan adanya pelayanan publik yang layak, perlindungan hak asasi dan kepentingan bersama.
Namun, apa jadinya jika dana yang kita serahkan kemudian dipakai untuk membeli perlengkapan atau senjata kimia seperti gas air mata, yang digunakan untuk menghalau bahkan menekan aspirasi rakyat? Gas air mata menjadi alat represif yang umum digunakan aparat keamanan untuk membubarkan massa demonstrasi. Secara fungsional, gas air mata memang dirancang untuk mencegah kekacauan dan menjaga ketertiban umum, tetapi bukan berarti penggunaannya tanpa kontroversi.
Dilansir dari kbr.id, Kepolisian Indonesia (Polri) tercatat lima kali membeli gas air mata dalam rentang Desember 2023-Februari 2024. Angka itu diketahui setelah Indonesia Corruption Watch (ICW) menelusuri Layanan Pengadaan Secara elektronik (lpse.polri.go.id) milik Polri. Dikutip dari ICW, sebanyak Rp188,9 miliar dari pajak masyarakat digunakan untuk pembelian gas air mata, yang tersebar di dua unit kerja: Korps Brigade Mobil Polri dan Badan Pemeliharaan Keamanan Polri.
Pada akhirnya, kita mesti bertanya, apakah logika “rakyat untuk rakyat” sudah terealisasikan dalam praktik penggunaan anggaran publik ini? Pajak yang dikumpulkan dari masyarakat digunakan oleh negara, termasuk polisi, yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom rakyat. Dalam keadaan yang ideal, aparat penegak hukum berfungsi menjaga keamanan tanpa menghilangkan atau meredam hak asasi manusia.
Dilansir dari pajak.go.id, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatat fokus pengeluaran negara pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, akselerasi pembangunan infrastruktur pendukung transformasi ekonomi, pemantapan efektivitas implementasi reformasi birokrasi dan penyederhanaan regulasi, serta mendorong pembangunan dan pengembangan ekonomi hijau.
Porsi terbesar fokus pengeluaran negara ada pada sektor pendidikan, yang menganggarkan Rp612,2 triliun untuk sektor pendidikan dan diikuti oleh perlindungan sosial, pembangunan infrastruktur, ketahanan energi, kesehatan, dan pangan. Tetapi, ketika anggaran tersebut dipakai untuk pembelian gas air mata atau perlengkapan yang kemudian digunakan untuk membubarkan demonstrasi secara keras, ini mengindikasikan ketidakseimbangan dalam cara negara menghadapi aspirasi rakyatnya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, adanya penggunaan gas air mata dari dana pajak menimbulkan efek jangka panjang terhadap psikologis rakyat. Kepercayaan terhadap pemerintah sebagai mitra dalam pembangunan sosial dan demokrasi berangsur menipis. Ketegangan sosial akibat tindakan represif ini justru memperparah jarak antara pemerintah dan masyarakat. Bukannya tercipta dialog dan solusi bersama, yang ada adalah rasa takut dan kecurigaan yang membesar.
Dari sisi etik, penggunaan dana publik untuk membeli perlengkapan yang berpotensi melukai warga negara harus menjadi bahan evaluasi serius. Pajak adalah representasi dari ekspektasi rakyat agar negara bekerja demi kesejahteraan mereka, bukan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan dengan intimidasi. Selain itu, transparansi penggunaan anggaran yang berasal dari pajak rakyat juga menjadi hal penting.
Pemerintah dan kepolisian harus membuka ruang publik agar masyarakat dapat mengawasi dan memahami untuk apa dana publik digunakan. Dengan begitu, rasa tanggung jawab bisa tumbuh, sekaligus menjadi kontrol agar dana tidak dialokasikan untuk hal-hal yang merugikan masyarakat banyak. Demokrasi adalah tentang partisipasi dan penghormatan pada keberagaman suara, bukan tentang pengendalian yang represif.
Rakyat membayar pajak dengan harapan agar hidupnya lebih baik, bukan untuk menjadi sasaran alat kekerasan. Konsep “rakyat untuk rakyat” sejatinya harus dihidupkan dalam setiap pengambilan keputusan anggaran dan kebijakan aparat keamanan. Dengan demikian, negara dapat kembali menjadi pelayan dan pelindung yang sebenarnya bagi seluruh warganya.