JURNALPOSMEDIA.COM – Khilafah merupakan ajaran agama islam yang tertera dalam Al-Quran. Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, inni ja’ilun fil ardhi khalifah, sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah:30). Dalam sejarah islam, khilafah menjadi institusi politik islam sedunia yang runtuh pada tahun 1924.
Dosen Sejarah Perbandingan Islam UIN Bandung, Moeflich Hasbullah mengungkapkan Hizbut Takhrir Indonesia (HTI) sebagai organisasi pertama yang mengurus sistem khilafah. Akan tetapi keberadaan HTI justru mendapat penolakan dari kelompok sekuler, para anti khilafah, para pemuja NKRI, pemuja nasionalisme, dan pemuja pancasila. Secara tidak langsung, penolakan itu yang membesarkan tren khilafah dan HTI.
Penolakan khilafah juga merupakan bentuk ketidaktahuan sekaligus ketakutan masyarakat non muslim di Indonesia terhadap ide khilafah. Sementara menurut sejarah, kalau sistem khilafah dilakukan dibawah pengawalan yang benar maka kaum minoritas akan lebih terlindungi.
Menanggapi isu tersebut, Moeflich mengatakan penolakan HTI melalui tindakan kebencian, serangan, dan kritik sebagai teori pembesaran tak sadar. “HTI justru dibesarkan oleh orang-orang yang membencinya, termasuk oleh Pemerintah, Jokowi, militer, kepolisian dan bahkan oleh media,” ungkap Moeflich Hasbullah saat ditemui Jurnalposmedia. Senin, (06/11/2017).
Lebih lanjut Moeflich memaparkan pada awalnya HTI bersifat eksklusif. Karena dibicarakan, dibahas, dan di ekspos secara terus-menerus, HTI menjadi isu nasional dan bahkan isu global. Salah satu penyebab kemunculan HTI sebagai pejuang khilafah yakni adanya kekecewaan rakyat. Kekecewaan terhadap politik barat, kekecewaan terhadap demokrasi, kekecewaan terhadap sistem politik Indonesia yang sekuler dan tidak memecahkan persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.
Kekecewaan tersebut lahir karena negara sudah tidak dipercaya dapat menyejahterakan rakyat, kekecewaan semacam ini lah yang membuat umat muslim mencari alternatif dengan memunculkan kembali khilafah. Secara logika, kesadaran agama lebih diutamakan dibanding kesadaran bernegara. Karena agama bersifat pramodial yang mengatur sampai aspek-aspek terkecil dalam kehidupan. Akan tetapi, penerimaan HTI oleh rakyat Indonesia juga tidak dapat dipaksakan.
Menerutnya media turut andil dan bahkan menjadi pemeran utama dalam membesarkan tren khilafah. “Penolakan-penolakan dari pihak yang kontra terhadap khilafah tidak akan tersebar luas tanpa adanya media. Sehingga khilafah menjadi akrab di telinga masyarakat, dan diterima sebagai sebuah pilihan,” pungkasnya.