JURNALPOSMEDIA.COM – Budaya literasi adalah salah satu fondasi penting dalam dunia pendidikan tinggi. Di lingkungan kampus, kemampuan membaca dan menulis tidak hanya menjadi alat bantu akademik, tetapi juga menjadi kunci untuk membentuk pola pikir kritis dan terbuka.
Mahasiswa yang terbiasa membaca dan menulis secara aktif akan memiliki daya saing yang lebih baik, baik dalam ranah keilmuan maupun dunia kerja. Literasi yang kuat membekali mereka untuk tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga memilah, menganalisis, dan membangun gagasan baru yang bermanfaat.
Namun, budaya literasi tidak bisa tumbuh begitu saja. Ia perlu dibangun dalam lingkungan yang mendukung dan memotivasi. Perguruan tinggi sebagai ruang pembelajaran dan pengembangan diri perlu menyediakan fasilitas yang memungkinkan mahasiswa memperkaya wawasan mereka. Contohnya, dengan menyediakan ruang baca yang nyaman, mengadakan diskusi buku, seminar literasi, atau kelas menulis. Saat mahasiswa merasa dihargai dalam proses literasi mereka, minat untuk membaca dan menulis pun akan tumbuh dengan sendirinya.
Sayangnya, dalam beberapa situasi, rendahnya budaya literasi menyebabkan opini-opini dangkal yang dibentuk oleh emosi sesaat tanpa melalui proses berpikir yang matang. Fenomena ini menciptakan ruang bagi prasangka menyebar secara cepat, menggeser ruang diskusi yang sehat dan argumentatif. Apalagi di era digital, saat popularitas dan hal viral seringkali lebih diperhitungkan daripada kompetensi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan.
Menariknya, budaya literasi tidak selalu hadir dalam bentuk akademik yang formal. Salah satu jalur alternatif yang sering luput dari perhatian adalah melalui lirik lagu. Ketika ditulis dengan pemahaman yang kuat, lirik dapat menjadi media yang sangat kaya secara narasi dan emosional. Lagu bukan lagi sekadar alunan melodi, melainkan menjadi teks yang bisa dibaca dan diartikan layaknya puisi. Di sinilah musik berperan sebagai penyampai pesan yang dalam dan menyentuh emosi.
Dalam seminar “Pentingnya Literasi Bagi Mahasiswa Calon Penerus Bangsa” yang diisi oleh pemateri Ferry Kurtis, lagu-lagu seperti “Sahabat Cahaya“, tidak hanya menyentuh tema spiritualitas, tetapi juga mengajak pendengarnya untuk berpikir kritis dan melihat dunia dengan cara yang lebih jernih. Lirik-lirik semacam ini mampu membawa pendengarnya masuk dalam ruang renung, tanpa perlu mereka sadari sepenuhnya. Literasi pun menjadi sesuatu yang mengalir, hadir dalam keseharian tanpa harus terasa berat.
Musik memiliki kekuatan untuk memotivasi dan menginspirasi antar generasi. Ia mampu menyampaikan nilai dan makna dengan cara yang halus namun tetap pada artinya. Karena itulah, penting bagi para pencipta lagu untuk menyadari peran mereka sebagai penyampai pesan literasi, tidak hanya pembuat hiburan. Di sisi lain, pendengar juga perlu dibiasakan untuk menangkap pesan yang tersembunyi di balik lirik, agar pengalaman mendengar menjadi lebih bermakna.
Untuk membangun budaya literasi yang kuat, diperlukan keterlibatan aktif dari setiap mahasiswa. Membaca buku, menulis catatan, mengikuti diskusi, atau sekadar menyimak lagu dengan kesadaran penuh bisa menjadi bentuk kecil namun berarti dalam memperkuat tradisi literasi.
















