google-Globe-people
JURNALPOSMEDIA.COM– Dalam materi orasi Seno Gumira yang digelar di Kampus ITB, Bandung kemarin. Ia berpendapat bahwa teori globalisasi diibaratkan sebuah jet-set yaitu sekelompok manusia yang memiliki pesawat jet pribadi, mereka bisa sarapan, makan siang, dan makan malam di tiga tempat berbeda diberbagai belahan bumi. Dengan kata lain kemampuan finansialnya menjadi faktor untuk membedakan kelas sosialnya. Konstruksi kebudayaan para jet-set ini terbentuk oleh berbagai faktor yang berada di ranah finansial, ranah tekonologi, ranah ideologi, ranah etnik dan media. Kelimanya pembentuk budaya global seperti dalam teori globalisasi Arjun Appadurai tentang disjuncture, yakni kondisi setelah modernisasi saat ini.
Tempat sesuatu saling bersilang tanpa menjadi tabrakan, ibarat air sungai, berbagai anak sungai dengan arusnya masing-masing membentuk sungai dengan arus baru. Tetapi tidak seperti alam, kebudayaan berkembang berdasarkan suatu kesadaran. Tidak seperti sungai, arus budaya global bukanlah aliran menuju satu arah, melainkan berbagai arah dengan berbagai varian yang keberadaannya sampai hari ini belum dan memang takkan pernah berhenti.
Seno mengutip dari The Economist Gadget bahwa (1) jaringan sosial telah berubah menjadi ruang publik yang luas tempat jutaan orang merasa nyaman menggunakan identitas aslinya, (2) pencapaian jaringan terbesar adalah membawa kemanusiaan ke suatu tempat yang sebelumnya dingin dan teknologis, (3) situs jaringan sosial juga menjadi media penting bagi berita dan saluran pengaruh, (4) jaringan sosial masih harus membuktikan bahwa keberadaannya layak dipertahankan, bahkan harus mengunjukkan bahwa mampu memberikan timbal balik atas investasi besar yang telah ditanam, sambil membuktikan bahwa ruang pribadi takkan dilanggar dalam perburuan profit; (5) ini barulah suatu awal dari era baru keterhubungan (interconnectedness) global, yang akan menyebarkan gagasan dan inovasi keliling dunia lebih cepat dari sebelumnya.
Dalam simpulannya, ia menjelaskan bahwa beberapa faktor yang mengacu pada teknologi akan menimbulkan sebuah efek atau disebut juga network effect. Efek ini menciptakan budaya baru dalam skala tertentu sampai saat ini dan akan terus berlangsung. Setiap orang senang memperlihatkan identitas dirinya di media sosial, hal ini juga mengacu pada ketertarikan masyarakat, terutama di Indonesia ini. Pengguna face-book di Indonesia, besarnya nomer 3 di dunia. Mengingat apa yang dilakukan dengan partisipasi ber-face-book-ria itu, mungkinkah juga berarti budaya baca-tulis di Indonesia juga nomer 3 di dunia?
Sayang sekali tidak. Praksis baca-tulis dalam face-book, juga dalam SMS dan W.A., bukanlah tentang keberaksaraan, melainkan kelisanan sekunder. Apa masalahnya dengan kelisanan sekunder? tentulah harus diketahui lebih dulu perbedaan wacana yang diberikan oleh keberaksaran dan kelisanan. Keberaksaraan merupakan tulisan tercetak dan pembacaan yang mampu mengembangkan pengetahuan, hanya mungkin berkembang sesuai dengan kontennya. Didalamnya terdapat pemikiran kritis dan independen juga sikap ilmiah. Bahkan membaca secara individual sering dianggap kurang sosial meski individual tersebut bersikap normal.
Dalam kelisanan, pendengaran, suara, mempersatukan. Karena menghubungkannya dengan kebudayaan tradisional, terdapat rasa kolektivitas yang kuat, tempat setiap anggota masyarakat bersama-sama mempunyai informasi yang relevan untuk kelangsungan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat seluruhnya. Seperti tukang pidato dan kaba dalam masyarakat tradisional Minang, mempunyai peran sangat penting karena dalam karya lisan mereka itu tersimpan informasi dan sistem nilai yang relevan bagi masyarakatnya masing-masing. Dengan adanya alat informasi elektronik, radio, dan televisi, yang memungkinkan penikmatan bersama, dan yang menekankan aspek pendengaran yang mempersatukan, seakan aspek kelisanan masih diperkuat lagi. Dengan adanya alat informasi elektronik, radio, dan televisi, yang memungkinkan penikmatan bersama, dan yang menekankan aspek pendengaran yang mempersatukan, seakan aspek kelisanan masih diperkuat lagi.
Secara psikologis, individual maupun sosial, perbedaan antara penyampaian dan penerimaan informasi tertulis dan lisan sangat besar. Apabila kemudian di Indonesia suatu wacana keberaksaraan ternyata menjadi kelisanan sekunder, tetaplah berlaku berbagai faktor dalam kebudayaan lisan seperti : (1) hikmah yang terkandung dalam pola menghapal, yang harus diulang terus menerus agar dapat terus bertahan hidup, (2) ungkapan seperti peribahasa tidak hanya menggarisbawahi pokok tertentu, justru peribahasa itu adalah pokoknya. (5) kebudayaan lisan sangat mementingkan aspek mimesis (meniru, meneladan, membayangkan kenyataan) sehingga tidak ada orisinalitas, dalam arti seorang penyair atau manusia lain mencipta secara individual sesuatu yang baru.