JURNALPOSMEDIA.COM – Aksi yang digelar dalam rangka menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker), tentu tidak luput dari peliputan berita media pers. Cakupan massa yang menolak UU Ciptaker menjalar ke seluruh wilayah di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Kondisi yang memanas seringkali mengakibatkan gesekan antara massa dan aparat di lapangan, hal tersebut juga tidak absen dari peliputan jurnalis yang bertugas.
Namun, jurnalis yang bertugas acapkali mendapat tindak kekerasan dari oknum aparat, dengan berdalih bahwa atribut pers yang digunakan jurnalis tidak terlihat jelas. Sayangnya, tindakan tersebut juga terjadi pada jurnalis yang meliput aksi penolakan Omnibus Law UU Ciptaker di Jawa Barat tempo hari.
Pernyataan Sikap AJI Bandung
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung mengutuk keras upaya tindakan menghalang-halangi, penyensoran,dan kekerasan yang dilakukan oknum aparat keamanan terhadap jurnalis saat meliput aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja, di wilayah Jawa Barat kemarin. Ketua AJI Bandung, Ari Syahril Ramadan mengungkapkan hingga 9 Oktober 2020, AJI Bandung mencatat ada 3 jurnalis yang menjadi korban intimidasi dan kekerasan pada saat meliput aksi tersebut.
Satu diantaranya terjadi pada Jurnalis Tribun Jabar, Fauzi Noviandi. Saat itu ia sedang merekam pembubaran massa aksi di depan Gedung DPRD Sukabumi. Tiba-tiba Fauzi didatangi oleh 2 oknum aparat yang berpakaian sipil, “Mereka memaksa Fauzi menghapus video rekaman dari gawainya. Padahal, saat melaksanakan tugasnya sebagai jurnalis, Fauzi telah melengkapi diri dengan kartu pers,” ungkap Ari melalui siaran pers yang diterima oleh Jurnalposmedia pada Jumat (9/10/2020).
Hal yang sama juga dialami jurnalis Tempo, Iqbal Tawakal. Saat itu, Iqbal sedang merekam penangkapan demonstran oleh oknum aparat keamanan di area barat Gedung Sate, Kota Bandung. Tetapi hasil rekaman tersebut diminta oknum aparat untuk dihapus.
“Iqbal sudah menyampaikan kepada aparat bahwa ia adalah wartawan. Tapi, hal tersebut tidak digubris oleh aparat. Mereka dengan cara memaksa meminta Iqbal untuk menghapus 3 video berisi tindakan (oknum) aparat kepada demonstran,” imbuh Ari.
Tidak hanya terjadi pada wartawan profesional saja, Jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Jumpa Universitas Pasundan Bandung, Angga Permana Saputra juga turut digeruduk oknum aparat saat sedang menyiarkan siaran langsung aksi melalui gawainya. Ia didatangi oleh 3-5 orang oknum aparat berpakaian sipil dan mengambil paksa gawainya. Lalu, Angga dibawa ke area Gedung DPRD Jabar dan diinterogasi sembari terus dipaksa untuk membuka kunci gawainya.
“Angga sempat menolak, namun salah satu (oknum) aparat malah meninju bagian ulu hati Angga. Saat melakukan peliputan, Angga menggunakan seragam LPM Jumpa serta menunjukan kartu pers. Namun, hal tersebut dihiraukan oleh (oknum) aparat. Angga ditahan dan dibawa ke Polrestabes Bandung, (serta) telepon genggam Angga disita (oknum) aparat. Angga dibebaskan keesokan harinya,” lanjut Ari.
AJI Bandung sangat menyayangkan serta mengutuk tindakan oknum aparat kepada 3 orang jurnalis tersebut, “Aparat perlu memahami, bahwa jurnalis yang sedang melakukan tugas dilindungi oleh UU Pers nomor 40 tahun 1999 tentang pers,” tegas Ari.
Atas peristiwa tersebut, AJI Bandung menyatakan beberapa sikap. Pertama, Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dalam peliputan unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja, serta menindaklanjuti pelaporan kasus serupa yang pernah dibuat ditahun-tahun sebelumnya.
Kedua, mengimbau pimpinan redaksi untuk ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan oknum aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban. Ketiga, Polri harus memegang prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam setiap melakukan operasi pengamanan.
Tanggapan Akademisi
Menanggapi peristiwa ini, Dosen Ilmu Komunikasi Jurnalistik UIN Bandung, Encep Dulwahab, turut prihatin atas tindakan kekerasan kepada wartawan ketika sedang meliput sebuah peristiwa penting.
“Saya harap kedepannya tidak lagi terulang kejadian yang sama. Mudah-mudahan kita semua bertindak, (dan) berbuat sesuai aturan yang sudah kita sepakati, dan kita harus patuh pada aturan itu. Sehingga tidak ada lagi orang yang dirugikan,” ungkapnya saat dihubungi Jurnalposmedia, Minggu (11/10/2020).
Lebih lanjut, ia juga bertutur bahwa apabila aparat merasa dirugikan dengan liputan wartawan, atau pemberitaan media, aparat boleh mengajukan keberatannya kepada Dewan Pers.
Respons Pers Mahasiswa
Pernyataan sikap juga disampaikan oleh Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB). Sekretaris Jenderal FKPMB, M Faqih Zalfitri Razak (Izal) juga sangat menyayangkan dan mengecam tindakan represif dari oknum kepolisian, khususnya kepada pers mahasiswa (Persma). Meskipun Persma belum memiliki payung hukum yang jelas, namun Izal menyebut Persma tetap memiliki hak peliputan.
“Tidak pantas ya ketika seorang (jurnalis) pers mahasiswa yang notabenenya bekerja secara profesional, dilakukan seperti itu. Pers mahasiswa, meskipun dianggap sebagai komunitas, tetapi juga diakui oleh AJI,” ungkapnya, Minggu, (11/10/2020).
Pernyataan serupa juga diungkapkan rekan Angga di LPM Jumpa, Muhammad Rizaldi Nugraha yang akrab dipanggil Nunu. Ia juga menyoroti Persma yang belum memiliki payung hukum, “Sebenarnya, walaupun pers mahasiswa nggak punya payung hukum yg jelas dari Dewan Pers, (saat) melakukan peliputan, kita (Persma) membawa identitas lengkap. (Juga) kita berteguh pada kode etik Jurnalistik, yang jelas sangat salah ketika ada tindak represif dari oknum polisi,” jelasnya.
Berada dalam satu naungan di LPM Jumpa, Nunu juga mengomentari kejadian yang menimpa rekannya, Angga, “Kita sangat menyayangkan sekali, padahal beliau (Angga) membawa identitas dan (mengenakan) seluruh atribut Jumpa. Mulai dari baju, kartu pers dan lain-lain. Tapi tetap aja kena tangkap,” jelasnya.
Pendapat juga diutarakan pemimpin umum LPM Suara Mahasiswa Universitas Islam Bandung, Muhammad Sodiq yang mengaku kecewa atas kejadian tersebut, “Tentu saja kecewa ya, karena pers disana (lokasi aksi) tugasnya hanya meliput, tidak ada urusan soal memanas manasi suasana. Pers juga sudah ada aturan mengenai kebebasan dan perlindungannya, tapi masih aja ada yang ditangkap. Mungkin juga aparat perlu diingatkan kembali mengenai kebebasan pers dan kode etiknya (pers),” pungkasnya.
*Kru Liput: Abdul Hayyi dan Chusnul Chotimah