JURNALPOSMEDIA.COM – Pemerintah resmi meluncurkan Makan Bergizi Gratis (MBG) di 26 provinsi, Senin (6/1/2025). Program ini menyasar 19,47 juta penerima yang terdiri dari anak di bawah usia lima tahun (balita), anak sekolah, ibu hamil, dan menyusui. Meski memiliki tujuan yang baik, nampaknya program ini masih menuai polemik di masyarakat.
Belum Meratanya Sosialisasi
Menurut salah seorang medical influencer, Tan Shot Yen, hingga kini pemerintah masih kurang memberikan sosialisasi dengan baik. Menurutnya, hal ini dapat menimbulkan blunder di masyarakat.
“Tentang sebetulnya program ini apa, to? Pelaksanaannya gimana, perduitan bagaimana, sekarang kalian bayangkan kalau ini jadi blunder di masyarakat,” ujarnya, dikutip dari kanal Youtube Kompas TV, Rabu (8/1/2025).
Dirinya juga menanggapi terkait siswa yang mengeluhkan tidak terdapat susu dalam menunya. Ia menilai, ini juga terjadi karena kurangnya sosialisasi pada masyarakat bahwa susu tak masuk dalam makanan gizi berimbang menurut panduan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dalam panduan makanan seimbang Kemenkes, yang disebut makanan lengkap berisi makanan pokok, sayuran, lauk-pauk, dan buah-buahan.
Skema yang Mempersulit UMKM
Dilansir dari Kompas.id, hingga Kamis (9/1/2025), nama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum ada dalam daftar satuan pelayanan pemenuhan gizi yang menjadi jantung program MBG. Padahal, saat pemerintah mencita-citakan program ini sebagai penggerak roda perekonomian, pelaku UMKM juga ingin diikutsertakan.
Dalam hal ini, pelaku UMKM berkesempatan menjadi mitra MBG. Namun, ketentuan seperti ukuran dapur, kekuatan kas, dan skema pembayaran memberatkan UMKM. Sejumlah pelaku UMKM mengusulkan agar kebutuhan MBG di satu sekolah disuplai oleh lebih dari satu UMKM sehingga mereka tidak perlu menyediakan dapur seluas 20×20 m seorang diri serta membuat 3.000 porsi.
Kebutuhan Gizi yang Belum Terpenuhi
Pemeriksa gizi menyebut bahwa setelah mengamati enam jenis sajian menu MBG, hanya satu yang memenuhi standar angka kecukupan gizi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 28 tahun 2019.
Kebijakan itu mengatur angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk masyarakat Indonesia. Untuk takaran isi piring anak berusia Sekolah Dasar misalnya harus terpenuhi antara 500-700 kalori dan terkandung unsur karbohidrat, protein nabati dan hewani, lemak, dan buah dalam sekali makan.
Adapun, menurut salah seorang ahli gizi, Tan Shot Yen, kuantitas makanan secara porsi dan kalori harus diatur dengan baik. Ia memberikan contoh jumlah makanan yang diberikan pada anak tentu berbeda dengan makanan yang diberikan pada ibu hamil.
Ancaman Food Waste
Di balik program MBG ini ada ancaman yang mengintip dalam implementasinya yang tak boleh diabaikan yaitu food waste atau pemborosan makanan. Food waste merujuk pada pembuangan makanan yang sebenarnya masih layak untuk dikonsumsi dan akhirnya menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Food waste dapat terjadi jika jumlah makanan yang disediakan melebihi kebutuhan penerima manfaat serta tidak tepat sasaran. Faktor yang dapat menyebabkan kondisi tersebut antara lain kurangnya perencanaan yang baik, menu yang disajikan tidak sesuai dengan selera lidah konsumen, hingga keamanan dan kelayakan makanan saat disajikan.
Ancaman food waste tidak hanya menjadi masalah etis, tetapi juga memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi, sosial, hingga lingkungan yang serius. Makanan yang dibuang secara tidak perlu akan berakhir sebagai limbah organik, menyumbang pada masalah pencemaran lingkungan dan emisi gas rumah kaca dari tempat pembuangan sampah.
Tindak Prefentif
Untuk mengatasi persoalan di atas, diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah dan pihak terkait. Perencanaan yang lebih matang dalam menentukan jumlah makanan yang dibutuhkan berdasarkan data riil, penggunaan strategi distribusi yang efisien untuk memastikan makanan sampai kepada yang membutuhkan, serta penerapan sistem pengelolaan sisa makanan yang berkelanjutan merupakan beberapa langkah yang dapat
diambil.
Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi masyarakat tentang pentingnya mengurangi pemborosan makanan. Dengan melibatkan penerima manfaat program ini dalam upaya pengurangan food waste, diharapkan dapat tercipta kesadaran kolektif akan pentingnya memperlakukan makanan dengan penuh penghargaan.
Dengan demikian, melalui upaya bersama antara pemerintah, pihak terkait, dan masyarakat, ancaman food waste di balik program makan siang gratis dapat diatasi secara efektif. Dengan mengoptimalkan manajemen makanan dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengurangi pemborosan, program ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan.