JURNALPOSMEDIA.COM – Pemerintah resmi menetapkan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional pada Senin (10/11/2025). Keputusan itu diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara di Istana Negara, Jakarta, bersamaan dengan penganugerahan gelar serupa kepada sejumlah tokoh lainnya. Langkah ini langsung memicu perdebatan luas di ruang publik, antara yang menganggapnya bentuk penghargaan terhadap jasa besar Soeharto dalam pembangunan, dan yang menilainya sebagai pengabaian terhadap sejarah kelam Orde Baru.
Menurut laporan Tempo, pemerintah menilai Soeharto layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena dedikasinya menjaga keutuhan NKRI, membangun infrastruktur, serta membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi di awal pemerintahannya. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia sempat mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun pada dekade 1980-an dan berhasil mencapai swasembada pangan. Pendukungnya memandang Soeharto sebagai pemimpin tegas dan berwibawa yang berhasil menciptakan stabilitas politik serta keamanan nasional, dua hal yang kini dirasa mulai pudar di era demokrasi terbuka.
Namun di sisi lain, dilansir dari Amnesty.id, Amnesty International Indonesia bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menilai keputusan tersebut sebagai bentuk kemunduran moral bangsa. Dalam pernyataannya, Amnesty menegaskan penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sama saja dengan menghapus sejarah kelam pelanggaran HAM yang terjadi selama masa Orde Baru.
Selama tiga dekade lebih, rezim Soeharto bertanggung jawab atas berbagai kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat, termasuk pembantaian massal 1965–1966; penembakan misterius (Petrus) 1982–1985; Tragedi Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989; kekerasan sistematis di Aceh, Timor Timur, dan Papua; serta penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997–1998. Bagi korban dan keluarga korban, gelar ini bukan penghormatan, melainkan pengingat bahwa keadilan belum pernah benar-benar ditegakkan.
Dari sudut komunikasi dan memori kolektif, penetapan ini mengingatkan kita bahwa simbol kepahlawanan sangat dipengaruhi oleh bagaimana narasi nasional dibentuk. Generasi muda yang mungkin hanya membaca “Soeharto Pahlawan Nasional” bisa jadi menerima citra tanpa bertanya: “Apa dampak kebijakannya?”
Sementara bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, gelar ini bisa terasa seperti pengabaian. Waktu keadilan belum datang, tapi penghargaan sudah diberikan.
Bangsa ini tidak akan pernah benar-benar dewasa jika terus berusaha memutihkan masa lalu hanya demi romantisme pembangunan. Sejarah bukan catatan yang bisa disunting sesuka hati, melainkan cermin untuk belajar agar kesalahan yang sama tidak terulang. Mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tanpa menuntaskan sisi gelap sejarah berarti negara sedang berkompromi dengan ingatan. Kita bisa menghormati jasa seorang tokoh, tapi tidak dengan menutupi kesalahan yang juga menjadi bagian dari warisannya.
Mengingat Soeharto sebagai manusia dengan jasa dan dosa adalah bentuk kejujuran sejarah.
Dan kejujuran, sesakit apa pun, adalah langkah awal untuk benar-benar merdeka dari masa lalu. Pahlawan sejati bukan hanya yang membangun, tapi juga yang menjunjung kemanusiaan dan keadilan. Bangsa yang besar bukan bangsa yang mudah memaafkan, tapi yang berani mengingat, belajar, dan menghadapi kenyataan manis maupun pahit.
















