JURNALPOSMEDIA.COM – Masalah pengelolaan sampah di Kota Bandung semakin menjadi perhatian serius. TPA Sarimukti, yang menjadi satu-satunya tempat pembuangan akhir untuk wilayah Bandung Raya, kini menghadapi ancaman over kapasitas. Setiap hari, jumlah sampah yang dikirim dari Kota Bandung terus meningkat, bahkan melebihi target pengurangan yang telah ditetapkan.
Data terakhir menunjukkan adanya kenaikan ritasesampah dari 170 menjadi 186 ritase per hari, padahal target yang ingin dicapai adalah 140 ritase per hari. Kondisi ini mencerminkan ketidakefisienan dalam sistem pengelolaan sampah yang ada saat ini, baik di tingkat kota maupun masyarakat.
TPA Sarimukti telah lama menjadi tumpuan untuk menampung sampah dari beberapa wilayah, termasuk Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Namun, dengan daya tampung yang semakin menipis, pengelolaan sampah di Bandung Raya menjadi pekerjaan rumah yang besar. Kota Bandung sendiri memiliki kontribusi terbesar terhadap jumlah sampah yang masuk ke Sarimukti. Pemerintah Kota Bandung telah mencoba berbagai cara untuk mengurangi sampah yang dikirim, termasuk dengan pengolahan sampah organik, daur ulang, dan pembuatan kompos. Beberapa wilayah seperti Kelurahan Antapani dan Sekeloa bahkan berhasil menciptakan lingkungan bebas sampah yang bisa dijadikan contoh. Namun, inisiatif ini belum menyeluruh, sehingga dampaknya masih terbatas.
Saat ini pengurangan residu menjadi prioritas utama dalam upaya menekan jumlah sampah. Residu merupakan sisa sampah yang tidak dapat diolah lebih lanjut dan menjadi penyumbang utama beban TPA. Oleh karena itu, efisiensi pengelolaan di tingkat kelurahan sangat diperlukan agar residu yang dikirim ke TPA dapat diminimalkan. Jika dikelola dengan baik, residu hanya akan menjadi pilihan terakhir untuk dibuang, sehingga beban Sarimukti dapat berkurang secara signifikan.
Meski demikian, tantangan besar tetap ada. Data menunjukkan kesenjangan upaya pengelolaan sampah antara wilayah-wilayah di Bandung Raya. Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi telah berhasil mengurangi ritase sampah masing-masing hingga 34 dan 12 ritase per hari. Sementara itu, Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat justru mengalami peningkatan ritase. Ketimpangan ini menyoroti perlunya sinergi yang lebih baik antarwilayah untuk menciptakan pengelolaan sampah yang terintegrasi.
Salah satu solusi yang perlu didorong adalah kolaborasi antarwilayah. Pengelolaan sampah di tingkat kelurahan tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan sistem yang lebih besar. Kelurahan yang berhasil mengelola sampah organik atau daur ulang dapat menjadi inspirasi bagi kelurahan lain, sementara residu yang tidak dapat diolah harus disatukan untuk dikelola bersama. Kolaborasi ini juga membuka peluang untuk menghadirkan inovasi, seperti pembangunan fasilitas pengolahan regional yang mampu menangani volume sampah lebih besar secara efisien.
Selain itu, teknologi dapat menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah ini. Alat-alat modern seperti mesin pencacah sampah atau pengolah limbah organik perlu dihadirkan untuk mendukung proses daur ulang. Teknologi ini tidak hanya akan membantu mengurangi residu yang harus dikirim ke TPA, tetapi juga menciptakan nilai tambah dari sampah yang sebelumnya dianggap tidak berguna. Langkah ini, jika diikuti dengan baik, dapat menciptakan sistem pengelolaan yang tidak hanya efektif tetapi juga ekonomis.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Keterlibatan masyarakat menjadi elemen yang tak kalah penting. Edukasi dan kesadaran masyarakat harus terus ditingkatkan agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam memilah dan mengelola sampah di lingkungan masing-masing. Ketika setiap rumah tangga mampu mengelola sampahnya dengan baik, beban di tingkat kelurahan, kota, hingga TPA akan berkurang secara signifikan.
Sayangnya, permasalahan tidak berhenti di situ. Banyak rumah tangga sudah mampu mengelola sampah dengan baik, tetapi pemerintah masih kurang menyediakan fasilitas yang memadai. Contohnya, truk pengangkut sampah seharusnya dipisah antara sampah organik dan anorganik sehingga sampah tidak tercampur dan akan mempermudah proses pengelolaan. Namun, kenyataannya hal ini belum direalisasikan.
Tantangan lainnya adalah aspek ekonomi. Pengelolaan sampah membutuhkan investasi besar, baik dalam infrastruktur, teknologi, maupun pelatihan. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian; perlu ada dukungan dari berbagai pihak, termasuk sektor swasta. Dengan adanya alokasi anggaran yang memadai dan kolaborasi lintas sektor, pengelolaan sampah yang berkelanjutan dapat diwujudkan.
Masalah sampah di Kota Bandung harus dilihat sebagai tantangan bersama. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan kebijakan berjalan konsisten, sementara masyarakat perlu berperan aktif dalam mendukung pengelolaan di tingkat lingkungan dan pribadi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan kantung kresek, botol minum kemasan sekali pakai, melakukan ecobrick serta menerapkan prinsip 5R: Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur ulang), Repair (memperbaiki), dan Refuse (menolak).
Jika semua pihak dapat berkolaborasi, Kota Bandung tidak hanya mampu mengatasi krisis sampah di TPA Sarimukti, tetapi juga menjadi model pengelolaan sampah berkelanjutan bagi daerah lain di Indonesia.
Kota Bandung harus segera bertransformasi. Program kelurahan bebas sampah, penggunaan teknologi modern, dan sistem kolaborasi antarwilayah perlu dijadikan prioritas. Dengan langkah-langkah ini, Kota Bandung dapat mewujudkan visi sebagai kota yang bersih dan ramah lingkungan, sekaligus memberikan solusi bagi TPA Sarimuktiyang semakin kritis. Masa depan pengelolaan sampah ada di tangan kita semua.