JURNALPOSMEDIA.COM-Setelah satu bulan penuh menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan, umat muslim di seluruh dunia merayakan salah satu hari besarnya yaitu idul fitri. Pun, biasanya masyarakat Indonesia sebut dengan lebaran.
Merayakan lebaran tahun ini dirasa berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Alasannya, karena adanya virus Covid-19 yang statusnya ditetapkan sebagai pandemi oleh organisasi kesehatan dunia atau WHO. Sebab status pandemi itu pun dirasakan bukan hanya oleh masyakarat Indonesia, tetapi sejumlah negara lainnya di dunia. Maka dengan begitu, masyarakat diharuskan untuk tetap berada di rumah dan meminimalisir bepergian ke luar rumah.
Di Indonesia, lebaran memiliki tradisi tertentu yang selalu dilakukan setiap tahunnya. Seperti halnya memasak makanan khas lebaran, pulang ke kampung halaman atau sekadar berkunjung ke handai tolan, kerabat, ataupun saudara.
Namun tradisi merayakan lebaran itu tidak sepenuhnya dirasakan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Istanbul, Turki, Muhammad Qyinan Abdul Malik. Ia merupakan seorang mahasiswa yang kerap disapa Qyinan, menjalani perkuliahan di Turki sejak 2019 lalu. Tepatnya, sudah 8 bulan Qyinan berada di Negara Timur Tengah dan dipimpin oleh Erdogan tersebut.
Ia bercerita, saat menghadapi pandemi di negara orang dan jauh dari keluarga tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih, terdapat fakta yang mengatakan bahwa, virus corona berasal dari China yang berada di benua Asia. Indonesia yang termasuk kedalam benua Asia, menyebabkan Qyinan pernah mendapatkan ejekan dari seorang warga setempat.
“Salah satunya ada yang mengatakan bahwa saya harus pulang ke negara asal saya, karena telah menyebarkan virus,” ungkapnya saat dihubungi via daring, Minggu, (24/5/2020). Meski ejekan tersebut bernada gurauan, namun ia mengaku bahwa tindakan tersebut sedikit mengganggunya.
Lebih lanjut ia mengatakan, adanya perbedaan menjalani bulan suci Ramadan jauh dari keluarga dan berbeda negara dan ditempa pandemi. Membuat kegiatan merayakan lebaran berbeda, pun seperti yang pernah ia lakukan ketika di pondok pesantren, tempat sebelumnya ia menimba ilmu.
Kegiatan mengaji yang sebelumnya dilakukan langsung tatap muka, kini dilakukan melalui perantara aplikasi Zoom bersama ayah dan kakak-kakaknya. Pun, untuk makanan yang biasanya tersaji di meja makan ketika di rumah, kini ia bahkan kesulitan untuk mendapat bahan makanan. Hal tersebut disebabkan oleh antrean panjang dan stok yang terbatas.
Namun, Qyinan mengatakan mampu teratasi dengan kehadiran tetangganya di Turki yang tidak pernah absen memberikan makanan. Ataupun meski hanya sekadar kudapan sederhana.
“Kebetulan tetangga-tetangga saya pada baik, jadi hampir setiap hari memberi makanan. Padahal setahu saya, orang Turki itu punya kebiasaan cenderung acuh, tapi tetangga saya tidak. Dan yang paling sering (memberi) itu orang Uzbekistan, mungkin karena dia juga orang perantauan jadi juga merasakan sehingga sering membantu,” katanya.
Keadaan Istanbul yang cukup sepi dirasakan Qyinan, dengan terlihat ruas jalanan yang tidak menampakkan kendaraan sama sekali. Meski demikian, setelah tiba hari raya idul fitri, Qyinan dan dua teman serumahnya tetap melakukan salat idul fitri berjamaah dirumah. Hal itu dilakukan agar tetap merasakan suasana idul fitri, seperti di Indonesia. Ia juga tetap memasak masakan khas lebaran diantaranya lontong, opor ayam, dendeng sapi dan kentang mustofa untuk merayakan lebaran.
Lepas salat berjamaah, untuk melakukan silaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara, ia lantas melakukan video call dengan keluarganya di rumah. Ia mengaku bahwa irtu pertama kalinya ia tidak pulang saat hari besar seperti idul fitri. Hal tersebut membuatnya merasa sedih sekaligus senang, karena jauh dari keluarga namun di sisi lain akan memberikan pengalaman baik baginya agar lebih dewasa.
“Sebelum pergi ke sini sering menyia-nyiakan waktu bersama teman-teman. Tapi setelah jauh dengan keluarga beda negara bahkan beda benua, baru terasa kalau waktu bersama mereka adalah berharga,” pungkasnya.