JURNALPOSMEDIA.COM – “Buruh, tani, mahasiswa, rakyat miskin kota, bersatu padu tuntut perubahan, bersatu tekad dalam satu suara, demi tugas suci yang mulia.” Petikan lagu Buruh Tani kiranya menggambarkan kondisi tanah air di awal bulan kesepuluh 2020. Tak ada asap jika tak ada api, rentetan aksi dilakukan sejumlah elemen masyarakat Indonesia sebagai bentuk penolakan disahkannya UU Cipta Kerja yang dinilai serampangan.
Geliat aksi terpantau mulai digaungan kalangan mahasiswa dan buruh pada 6 Oktober 2020. Di kota kembang, Bandung, misalnya. Selama tiga hari berturut-turut, massa aksi turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi ketidakterimaan akan UU Cipta Kerja yang dikebut tanpa melibatkan unsur masyarakat dan dirasa merugikan sisi perburuhan.
Sejumlah demonstran, utamanya mahasiswa juga angkat suara perihal aksi yang dilakukannya kala itu. Semangat yang membara datang dari salah seorang massa aksi yang juga mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Ilyas Ali Husni. Ia berorasi kala demo meletus di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat saat itu.
“Mengenai demo saat itu sangat diluar dugaan. Demo sangat massif. Kota Bandung kembali menunjukan taringnya atau marwahnya sebagai kota perjuangan, kota pendidikan dan kota perlawanan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang serampangan. Saya mengapresiasi penuh seluruh elemen yang turun ke jalan, baik mahasiswa, buruh, pelajar, juga para relawan medis dan pers di jalanan,” tuturnya saat dihubungi, Minggu (11/10/20) lalu.
Jalanan Bandung kala itu bagai lautan manusia. Tua-muda beriringan turun kejalan dan tak henti-hentinya saling menyemangati serta mendukung segala aksi untuk keadilan negeri ini. Ilyas mengaku tak pernah puas akan apa yang dicapai. Sebagai mahasiswa, ia merasa harus selalu haus akan kebenaran dan keadilan. Karena, saat itu pemerintah pusat dan daerah belum bisa menunjukan sikap tegas terkait penolakan UU Cipta Kerja.
“Kita tidak puas dengan bahasa normatif dari pemerintah pusat, Presiden dan DPR. Walaupun Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil sudah menyatakan sikapnya melalui surat. Namun, bukan itu yang kita inginkan, tetapi menggagalkan Omnibuslaw secara keseluruhan,” lanjutnya.
Ia terpacu mengikuti aksi demonstrasi penolakan Omnibuslaw berdasarkan keresahan bersama ketika Indonesia berada dalam keterpurukan dan ketidakadilan. Maka, ia menilai sudah tugas mahasiswa untuk turut hadir di garda terdepan guna menumpas hal tersebut. Masa depan ada di tangan kita sebagai siswa yang diamanahi gelar “maha”, kata Ilyas. Bukan hanya menyelamatkan satu suara tetapi banyak elemen di dalamnya.
Ilyas bersama rekan-rekannya, tergabung dalam Poros Mahasiswa Bandung dari puluhan kampus di kota kembang. Mereka telah melakukan persiapan sejak Juni lalu untuk melakukan aksi penolakan tersebut. Yakni meliputi persiapan narasi, solusi, eskalasi, dan koordinasi untuk penolakan Omnibuslaw. Naskah akademik berjudul Api Cinta Mahasiswa Bandung Tolak Omnibuslaw pun tercetus.
“Aksi kita ke Jakarta, dan aksi dinamis di Bandung. Hal yang tak terlupakan adalah kebersamaan dan keresahan bersama kawan-kawan, loyalitas untuk sama-sama berjuang. Kalau dari kita sendiri, kita touring ke Jakarta, tiga puluh lima sepeda motor. (Kemudian) aksi di senayan,” katanya.
Beralih dari Ilyas, salah seorang demonstran yang turut menyuarakan aspirasinya di jalanan adalah mahasiswi Jurnalistik UIN Bandung, Aulya Istiqomah. Dirinya beranggapan, aksi demo yang dilakukan di Bandung kala itu akan lebih terkoordinir saat dilakukan oleh massa aksi yang benar-benar tergabung untuk menyuarakan keadilan. Namun, ia menyayangkan adanya beberapa oknum yang dirasanya ingin mengacaukan dan memecah belah aksi tersebut.
“Aku baca beberapa pasal (UU Cipta Kerja) soal buruh wanita yang dikasih kesempatan cuti haid atau hamil tapi tidak diberikan kompensasi gaji. Banyak juga rakyat kecil yang tertindas dengan adanya itu. Memang sih akan banyak orang luar negeri yang berinvestasi dan pengangguran yang bekerja. Tetapi hal itu enggak setimpal dengan tenaga yang dikeluarkan dan berujung keuntungan didapat investor itu sendiri,” jelasnya.
Dirinya juga mengungkapkan banyak hal yang tak terlupakan ketika mengikuti aksi tersebut. Baginya, solidaritas yang dibangun bersama massa demonstran memberi kesan tersendiri. Isti mengatakan jika aksi yang dilakukan dua minggu lalu adalah aksi terpimpin, sehingga apa yang dikomandoi dan dikatakan oleh sang pimpinan harus didengarkan.
“Kita itu dari kampus sampai Gedung DPRD dikawal sama polisi. Terus karena aksi saat itu itu aksi terpimpin, jadi kita tidak mau ada aliansi lain yang masuk dalam lingkaran kita. Kita juga sudah punya kesepakatan dan konsolidasi dari awal kalau kita enggak akan menerima aliansi lain di kelompok kita ini,” kata Isti saat menjelaskan kembali pergerakan aksi yang dilakukan oleh kelompoknya.
Lebih lanjut, selain kalangan mahasiswa, sejumlah buruh di Kabupaten Bandung pun ikut terjun melakukan aksi penolakan Omnibuslaw UU Cipta Kerja pada Selasa (6/10/2020). Ratusan buruh yang terhimpun dalam Sekretariat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) melakukan long march menuju titik kumpul aksi di kawasan industri Dwipapuri Djarum Super di Rancaekek, Kabupaten Sumedang.
Tidak hanya SPSI PT Kahatex saja, SPSI dari Kabupaten Sumedang pun turut mengikuti aksi, “Massa dari gabungan PT Kahatex ini kurang lebih ada 300-500 orang. Kemudian kawan-kawan dari kawasan Industri Rancaekek ini (ada) ribuan lah,” kata Ketua SPSI PT Kahatex yang juga wakil dari cabang SPSI Sumedang, Jayadi Prasetya. Menurut keterangannya, saat itu aksi tersebut akan digelar sampai tiga hari.