Sun, 24 November 2024

Sikap Poros Revolusi Mahasiswa Bandung Terhadap Perubahan RUU KPK

Tue, 17 September 2019
Puluhan mahasiswa perwakilan dari 18 Perguruan Tinggi se-Bandung Raya yang tergabung dalam Poros Revolusi Mahasiswa lakukan Aksi Solidaritas menolak Revisi UU KPK. Aksi tersebut dilakukan di depan Gedung DPRD, Kota Bandung, Selasa, (17/9/2019). (Haikal Abrori/Jurnalposmedia)

Pers Release

“Terhadap Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”

Revisi UU KPK bukanlah hal baru, sejatinya wacana ini telah muncul sejak tahun 2010 di masa pemerintahan SBY yang diusulkan oleh komisi III. Revisi UU KPK pun masuk kedalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 dan 2012. Wacana ini mendapat penolakan kencang dari masyarakat sehingga ketua DPR saat itu setuju untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Wacana revisi UU KPK muncul kembali pada tahun 2016 yang saat itu sempat mendapat penolakan dari tiga fraksi yang yakni Gerindra, PKS, dan PAN. Wacana revisi UU KPK kembali menguat setelah adanya pansus hak angket KPK tahun 2017. Seperti sebelumnya, suara penolakan mengalir deras dari masyarakat yang berujung penundaan pembahasan revisi UU KPK.

Setelah lama tak terdengar pembahasannya, pada 5 september 2019 DPR sepakat untuk merevisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK menjadi usul inisiatif DPR RI Kesepakatan ini diperoleh setelah juru bicara dari 10 fraksi menyampaikan pendapatnya secara tertulis ke meja pimpinan rapat paripurna.

Sidang yang hanya dihadiri oleh 70 orang dari 560 anggota DPR pun berakhir dalam waktu 20 menit. Serta perubahan yang belum terlalu signifikan serta kurang komprehensif. Menjadi suatu bukti bahwa revisi undang-undang ini tergesa-gesa dan sangat kontras penuh dengan kepentingan untuk mengkebiri wewenang dan fungsi lembaga independen. KPK ini yang seharusnya tidak Intervensi dari pihak manapun termasuk eksekutif sekalipun agar legitimasi lembaga independen ini masih memiliki Legitimasi yang kuat.

RUU KPK

Pada 30 September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat kembali membuat kebijakan yang sangat kontroversial berupa menyetujui revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah sendiri mengakui bahwa Revisi Undang-Undang KPK berupaya untuk melemahkan lembaga yang teralu kuat. Penolakanpun muncul dari beragam pihak termasuk tokoh agama, akademisi, dan serikat buruh (Fadhil, 2019). Penolakan tersebut merupakan cerminan dari substansi RUU KPK itu sendiri yang dinilai bermasalah dan menurunkan efektivitas pemberantasan korupsi. Melalui laman resminya, Komisi Pemberantasan Korupsi merilis 10 masalah terkait

RUU KPK seabgai berikut (KPK, 2019):

  1. Independensi KPK Terancam
  2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi
  3. Pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR
  4. Sumber peyelidik dan penyidik dibatasi
  5. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
  6. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas
  7. Kewenangan-keweangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan
  8. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan
  9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

Adapun terdapat beberapa perubahan Pasal yang dinilai mengancam pemberantasan Korupsi. Pertama, adalah pengenalan Dewan Pengawas dalam struktur KPK sebagaimana diatur dalam perubahan Pasal 21 Undang-Undang KPK. Berdasarkan pasal 37 A, Dewan Pengawas merupakan lembaga non-struktural yang mengawasi KPK yang berisi 5 orang. Berdasarkan Pasal 37 E RUUKPK, Ketaua dan Anggota Dewan Pengawas dipilih oleh DPR RI berdasarkan usulan dari Presiden RI.

Pembentukan Dewan Pengawas berpotensi mempersulit upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Sebab Dewan Pengawas memiliki kewenangan yang sangat besar dalam mengontrol KPK. Pasal 12 B ayat (1) RUU KPK mengatur bahwa penyadapan yang dilakukan oleh KPK dilaksanakan berdasarkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Karena merupakan izin, maka tidak heran Pasal 12B ayat (3) memungkinkan Dewan Pengawas untuk tidak memberikan izin terhadap permintaan izin. Adapun izin tersebut hanya berlaku selama tiga bulan dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu yang sama.

Selain melalui Dewan Pengawas, intervensi terhadap kinerja KPK juga dilakukan dalam tahap penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 A RUU KPK yang berbunyi:

“Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.”

Dengan demikian, proses penuntutan yang sebelumnya dilakukan secara independen oleh Penuntut Umum pada KPK yang diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang KPK menjadi hilang. Karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Setelah berbagai pasal yang menghambat kinerja KPK dengan berbagai syarat adminsitratif, perizinan, dan koordinasi. Harapan masyarakat akan penyelesaian kasus-kasus mega korupsi semakin kecil dengan pembatasan jangka waktu penindakan perkara dalam Pasal 40 ayat (1) RUU KPK yang berbunyi:

“(1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib tunduk pada mekanisme penyidikan yang diatur berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mempunyai standar kompetensi yang sama.”

Dari penjabaran diatas, kami menilai bahwa wacana RUU KPK merupakan langkah sistematis dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pelemahan pemberantasan korupsi melalui pembrangusan KPK. Dengan ini kami secara tegas menolak wacana Revisi Undang-Undang KPK karena mengancam keberlangsungan pemberantasan korupsi yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan Rakyat Indonesia secara luas. Kami juga mengecam keras komisi III DPR yang akan memilih Capim KPK yang sepakat dengan Undang-Undang KPK, pasahal revisi tersebut tentunya tidak memiliki relevansi dengan kompetensi seorang Capim KPK.

Dari Penjabaran diatas, kami menyimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat secara sistematis berupaya melakukan upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Atas permasalahan dan penjabaran diatas kami menyampaikan tuntutan sebagai

Berikut:

Pernyataan Sikap Poros Revolusi Mahasiswa Bandung Raya :

  1. Menolak keras Revisi UU KPK karena mengkebiri independensi KPK dan meringankan sanksi tindak pidana korupsi serta mengancam prinsip demokrasi.
  2. Menuntut Presiden dan DPR RI untuk membatalkan pengesahan RUU KPK karena dinilai tergesa-gesa dan tidak masuk kedalam Prolegnas prioritas tahun 2019.
  3. Mendesak Presiden dan DPR RI untuk mengkaji ulang isi draf RUU KPK dengan perubahan signifikan yang menguatkan lembaga independen KPK dan tidak adanya intervensi dari pihak lain.
  4. Mencabut pimpinan KPK terpilih karena terindikasi melakukan pelanggaran kode etik serta memilih kembali pimpinan KPK yang ideal dan sesuai dengan kriteria pada aturan yang berlaku.
  5. Jika RUU KPK ini disahkan, maka kami Mahasiswa se-Bandung Raya dan Jawa Barat akan mengambil sikap tegas dengan menduduki gedung DPR RI dan gedung merah putih KPK secara serentak.
Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments