Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jabar Dadan Ramdan (Kanan) dan Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Muit Pelu (Kiri) menyampaikan materi dalam diskusi dan bedah film di Cafe Bari Ngopi UIN Bandung, Jalan AH. Naution, Kota Bandung Rabu (19/4/2017). (Abdul Rokib/kontibutor)
JURNALPOSMEDIA.COM – Proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati dinilai tak dibutuhkan oleh rakyat. Hal ini dinyatakan oleh aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Barat, Budianto saat mengisi diskusi bedah film “Duka Mulya” diikuti diskusi terbuka bertajuk “Percepatan Pembangunan Infrastruktur untuk Siapa?” yang diselenggarakan oleh Front Perjuangan Rakyat (FPR) Jawa Barat, di Cafe Bari Ngopi UIN Bandung, Rabu (19/04/2017).
Menurutnya, proyek tersebut semata-mata tidak menyangkut kebutuhan masyarakat. Ini merupakan skema yang sedang dijalankan antara penguasa dan pengusaha. Demikian ia melanjutkan, bahwa negara-negara imperialisme sedang gencar melakukan penetrasi modal kepada negara-negara basis khususnya Indonesia.
“Kami menganalisa bahwa rezim Jokowi-JK melalui keputusan politiknya terkait pembangunan infrastruktur yang jumlahnya 225, proyek ini adalah bukan semata-mata kebutuhan dari rakyat, akan tetapi ada skema yang sedang dijalankan antara penguasa dan pengusaha,” ujarnya.
Namun, menurut Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, pembangunan infrastruktur ini akan menguntungkan denyut ekonomi Jawa Barat. Hal tersebut diungkapkannya pada pertemuan tahunan Bank Indonesia 2016 di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, (29/11/2016) lalu, sebagaimana dilansir Tempo.co Bagi Aher, dukungan pembangunan infrastruktur yang masif sebagai jalur arus pergerakan orang dan barang, dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
Berbeda halnya dengan ungkapan Direktur WALHI Jawa Barat Dadan Ramdan, yang juga duduk sebagai pemantik diskusi. Menurutnya, pembangunan infrastruktur ini tidak mencurahkan keuntungan pada masyarakat, melainkan hanya berdampak krisis lingkungan dan sosial. Katanya, kalau proyek BIJB ini tetap berlangsung, maka akan terjadi dampak lingkungan di wilayah terkait, seperti lenyapnya daerah resapan air sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat. Di samping itu, ada juga dampak sosial saat masyarakat dipaksa beralih profesi.
Pada perjanjiannya pada masyarakat, pemerintah memang berencana akan memberi pelatihan alih profesi tersebut. Sebagaimana diakui aktivis Front Perjuangan Rakyat Sukamulya Bambang, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi. Baginya, hal itu tidak akan cukup satu atau dua tahun, sehingga upaya tersebut tidak berdampak signifikan pada kelangsungan profesi masyarakat kelak. Selain itu, tambah Bambang, pemerintah juga memberi masyarakat suatu penghargaan berupa pengukiran nama-nama masyarakat yang terkait dalam penggusuran lahan ini, yang kelak dikenang sebagai pahlawan dalam kesuksesan proyek BIJB tersebut.
Lingkungan Hidup Terancam
“Kalau dilihat dari aspek ekologis, jelas bahwa pembangunan infrastruktur skala besar yang ada di Jawa Barat, akan mempercepat laju kerusakan ruang hidup,” kata Dadan.
Dadan melanjutkan, Bandara Kertajati jelas-jelas akan merusak lingkungan. Bagaimana lima ribu hektar lahan sawah itu akan berubah menjadi beton, menjadi bangunan, sementara di jalur pantai utara adalah wilayah resapan air. Proyek infrastruktur sekala besar seperti bisnis-bisnis properti industri, manufaktur, yang saling terkoneksi itu, tidak akan memberi dampak bagi peningkatan kehidupan petani, nelayan, dan kelompok kerja lainnya. Begitu pun pada aspek lingkungan dan sosial.
Menurut Dadan, dalam menjalankan pembangunan infrastruktur, mesti memenuhi tiga syarat yang dapat berdampak baik pada lingkungan. Di mana pembangunan mesti memberi dampak kesejahteraan dan memakmurkan rakyat kecil, memihak produktifitas rakyat, dan menjamin keberlanjutan pelayanan alam.
Perpres dan Inpres
Perjalanan proyek Bandara Kertajati ini didasari oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016, Kemudian, diperkukuh lagi oleh Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2016. Dua produk peraturan tersebut Menurut Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Muit Pelu, merupakan peraturan yang sulit dibatalkan. Katanya, dalam sejarah Indonesia belum pernah ada Perpres dan Inpres yang pernah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Parahnya, tak ada keterbukaan dalam pengesahan tersebut, terkait pertimbangan-pertimbangannya. Sehingga ini yang menjadi batu sandungan bagi LBH dalam upaya perlawanan di ranah hukum, terkait proyek Bandara Kertajati tersebut.
“Kalau dari kacamata hukum, itu menyediakan kita untuk kalah. Makanya kekuatan yang paling besar adalah memberitahu semua orang tentang peristiwa-peristiwa ini dan menentukan sikapnya kedepan,” paparnya di depan peserta diskusi, yang diikuti tepuk tangan hadirin.
Sementara itu, pada progresnya, hingga 5 Februari 2017, proyek bandara ini telah mencapai 30,09 persen. Hal tersebut disampaikan pihak PT Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Sebagaimana dilansir Kompas.comsalah satunya pada progres pembangunan terminal sendiri sudah mencapai 19,9 persen, dengan targetat rampung Desember 2017. Sementara itu, secara keseluruhan proyek ini dicanangkan bisa rampung 2018 mendatang, sehingga pengoperasiannya bisa dilaksanakan pada kuartal ke-1 tahun tersebut.
Saat proyek sudah berlangsung, upaya WALHI sendiri adalah mengajak agar masyarakat bersama-sama mengawalnya. Supaya rencana pengelolaan lingkungan dijalankan, begitu pun dengan rencana pemantauan hidupnya juga. Namun, hal ini diakui Dadan jauh lebih sulit dibanding pencegahannya. Sehingga menurutnya, upaya strategis adalah dengan bersama-sama mencegahnya lebih dulu sebelum mengawalnya. Yakni tak ada jalan lain kecuali dengan tetap bertahan di lahan yang terancam, mempertahankan ruang hidup sendiri sebagai bentuk perlawanan.