Tue, 1 April 2025

Polemik Pembangunan PLTPB di Gunung Slamet

Reporter: Reta Amaliyah | Redaktur: Riska Yunisyah Imilda | Dibaca 919 kali

Wed, 18 October 2017
Sebagian kawasan hutan lindung Gunung Slamet yang akan dijadikan PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) terlihat gundul, Kamis (12/10/2017). Kegiatan pembangunan ini banyak dikecam oleh warga dan mahasiswa karena menimbulkan dampak kerusakan ekosistem. (Wahyu Kurniasih/Kontributor)
Sebagian kawasan hutan lindung Gunung Slamet yang akan dijadikan PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) terlihat gundul, Kamis (12/10/2017). Kegiatan pembangunan ini banyak dikecam oleh warga dan mahasiswa karena menimbulkan dampak kerusakan ekosistem. (Wahyu Kurniasih/Kontributor)

JURNALPOSMEDIACOM–Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) oleh PT SAE (Sejahtera Alam Energy) di Gunung Slamet menimbulkan polemik dan kecaman dari warga sekitar. Pasalnya, pembangunan PLTPB dilakukan di kawasan hutan lindung Gunung Slamet dan proyek pembangunan tersebut melanggar prinsip-prinsip dari ekologi.

Dibandingkan PLTU, PLTPB lebih ramah lingkungan jika dibangun di tempat yang sesuai, bukan di hutan lindung. Akan ada 675,7 hektar lahan yang mengalami deforestasi (kegiatan penebangan hutan atau tegakan pohon sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan non-hutan). Serta serapan air akan berkurang, keseimbangan flora dan fauna terganggu.

Sepanjang bulan November 2016-Maret 2017, terjadi pencemaran air sungai di Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Hulu Sungai Krukut telah berubah warna menjadi merah kecoklatan. Pencemaran ini disebabkan oleh pembukaan hutan dan pembangunan jalan dari kawasan agrowisata Kaligua, Kab.Brebes sampai ke area Taman Hutan Dringo (sebuah rawa di hutan lindung Gunung Slamet). Jalan tersebut digunakan untuk memudahkan mobilisiasi transportasi dan peralatan yang digunakan untuk eksplorasi panas bumi. Limbah pembukaan jalan tersebut tidak dikelola dengan tepat, sehingga material limbahnya masuk ke hulu Sungai Krukut.

Perlu diketahui, PT SAE  saat ini tengah melakukan eksploitasi. Mulai dari pengeboran dan produksi listrik. Pengeboran dapat menyebabkan gempa minor dan membuat bangunan di sekitarnya menjadi retak. Tindakan PT SAE dan respon pemerintah pun tidak didapatkan sehinga menimbulkan kegeraman para mahasiswa.

Salah satunya Pegiat Aksi Aliansi Selamatkan Slamet dan sekaligus mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Wahyu Kurniasih, mengatakan bahwa saat ini Indonesia tengah mengalami surplus listrik, dan Jawa Tengah adalah yang terbesar yaitu 750 megawatt. “Secara logika, pembangunan PLTPB Gunung Slamet tidak memberikan dampak positif ekonomi yang begitu besar bagi Indonesia, karena 75% investor PT SAE berasal dari perusahaan Jerman yaitu STEAG Gmbh Energy,” katanya Wahyu,  saat diwawancarai oleh Jurnalposmedia melalui telepon, Rabu (18/10/2017).

Penyebab dari pembangunan ini, diperkirakan ada 15 desa di pinggiran Gunung Slamet akan mengalami krisis ekologi. Ditambah lagi dengan terancamnya pertanian, perikanan dan perkebunan para petani. Bahkan saat ini, kawasan terdampak pembangunan PLTPB juga mengalami banjir bandang yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Akibat dari air hujan yang tidak terserap oleh hutan lindung sebagaimana mestinya.

Meskipun proyek ini sudah dilegalkan oleh pemerintah melalui izin Panas Bumi berdasarkan Kepmen ESDM No. 1557 k/30/MEM/2015 dan memegang Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) yang mencakup area seluas 24.660 hektar di Banyumas, Purbalingga, Tegal, Brebes dan Pemalang. Proyek PLTPB tidak membutuhkan tenaga kerja yang terlalu banyak karena sudah menjadi bagian borongan PT SAE dan menimbulkan kontra terhadap masyarakat.

“Kami (Pegiat aksi Aliansi Selamatkan Slamet) tidak bermaksud melawan hukum. Tapi, kami hanya ingin menyelamatkan sedikit hutan yang tersisa. Kami ingin menyelamatkan Gunung Slamet.” pungkas Wahyu.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments